"Naikkan IQ Anda, hoax akan turun." pernyataan dosen ilmu filsafat UI, Rocky Gerung di acara Indonesia Lawyer's Club, TV One (17/1/ 2017) dan juga menambahkan  bahwa "pembuat hoax terbaik adalah penguasa".
*****
Jadi tidak salah rasanya ungkapan Gerung di acara tersebut ketika seorang kolumnis South China Morning Post, Jake Van Der Kemp menulis bahwa Presiden  Joko Widodo salah data mengenai data pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang disebut menempati urutan ketiga terbaik di dunia, setelah China dan India. Jake bahkan menyebut  Jokowi telah menyebarkan berita palsu alias hoax. Nah!
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Jaringan Pro Demokrasi (ProDem), Satyo  Purwanto menyatakan isi pidato Presiden Joko Widodo di Hongkong sebagai pidato yang menyesatkan. Satyo pun setali tiga uang dengan kolumnis tersebut dan menyebut isi pidato Jokowi sebagai  hoax.
"Telah berkali-kali Jokowi menyampaikan pidato tentang pertumbuhan  ekonomi Indonesia yang bersifat 'hoax', terakhir disampaikan di forum  berkelas Internasional saat di Hongkong," ungkap Satyo dalam siaran pers  yang diterima Aktual, Rabu (3/5)
Lalu apa maksud dari pidato yang disampaikan oleh Jokowi saat berpidato dalam  acara Hari Kebebasan Pers Sedunia 2018, JCC, Jakarta, Rabu (3/5/2017), "Media semestinya meluruskan kalau ada berita-berita yang tidak benar, ada berita-berita bohong, ada hoax,  ada ujaran-ujaran yang tidak baik,"
Paradoksal inilah yang kian intens terjadi di depan hidung rakyat Indonesia. Negara ini komplit memamerkan keadaan bolak-balik. Seperti pernyataan Gerung bahwa pembuat hoax terbaik adalah rejim dan bukan melulu para oposan, the haters, mereka yang belum move-on, barisan sakit dan seterusnya.
Pada acara tersebut, Grace Natalie dengan yakin mengatakan hoax diproduksi oleh keadaan dimana traditional literacy rate yang rendah, apalagi digital literacy rate-nya. Pernyataan tersebut sepenuhnya dapat dibenarkan maka patut rasanya bagi Partai Solidaritas Indonesia, sebuah partai baru nongol, tidak jelas filosofi perjuangannya dan getol menjadi penjilat kebijakan-kebijakan dari rejim saat berkuasa menyarankan untuk memodifikasi gaya-gaya seperti bagi-bagi sepeda dengan sebelumnya menyampaikan teka-teki lucu-lucuan di setiap pertemuan informal.Â
Siapa yang bisa menjawab akan dapat sepeda dengan mengganti menjadi buku-buku yang bisa menambah khazanah dan melebarkan wawasan. Dan dipastikan juga bahwa bukan berupa buku-buku yang dipenuhi indoktrin berupa LGBT itu boleh, berpacaran itu boleh dan semua agama itu sama. Malah tambah ngawur nantinya.
Jadi teringat pada sebuah sesi di acara itu gaya politikus Senayan semacam Akbar Faisal dari partai pendukung yang menyerang Jonru, seorang penggiat digital literacy sebagai seorang penyebar hoax terkait silsilah Jokowi.Â
Bagi penulis sengkarut seputar silsilah Jokowi tidak akan selesai diperdebatkan selama belum adanya pernyataan yang menegaskan silsilah tersebut.