Rachmawati, saudara biologis dari Megawati rupanya sebatas hanya persaudaraan sedarah  saja tapi terputus ketika mereka berbeda laku dan paham. Rachmawati lebih terlihat kritis, kontemplatif, tidak pragmatis dan malahan sangat idealis. Indikasi dari ke-idealisan ini bisa dilihat berkali-kali Rachma mempertontonkan ketidaksetujuannya dengan konten politisnya Mega yang "pagi beriman siang lupa lagi", sebuah lagu dari band Gigi yang membantu kita mengerti dengan sederhana apa itu "Plin-plan" terkait sikap atau sikap hipokrit yang kebangetan.
Bagi Megawati, politik adalah sebuah kanal ekspresi dan panggung gembira atas tafsir ngawurnya tentang kemajemukan dan keragaman. Pidato blundernya tentang hari akhir dan tangisan mellow-nya saat menolak ketika SBY menjabat memutuskan untuk mengurangi besaran subsidi BBM dan cengar-cengir saat anak ideologisnya di awal masa menjabat sebagai presiden ke tujuh malahan menghapus subsidi BBM untuk rakyat.
Alhasil perangai Megawati inilah menurut hemat penulis menjadi pabrik dari kebijakan-kebijakan Jokowi yang "gagal ingat" dan "gagal tanggap" tentang apa yang dia pernah sampaikan saat berkampanye dulu. Baik itu anti berhutang, tidak akan otoriter dan berlaku bak Soeharto dulu yang dianggap para pencoleng arti dari kesetaraan dan HAM. Jokowi sekarang lebih terlihat "tanpa ampun" meskipun berkelakar muka "ndeso" tidak mungkin akan menjadi diktator. Jokowi lupa olok-olok tokoh Charlie Caplin dengan wajah blo'on dan kumis secuilnya tersebut terinspirasi dari Adolf Hitler, seorang fasis tulen dan gemar membunuh lawan perangnya.
Pembaca tentu masih ingat tentang kasus lucu Obor Rakyat, sebuah perusahaan mass media yang katanya dulu adalah pelaku praktek ujaran kebencian dan penyebar hoax tentang segala sesuatu dari sudut gelap dan minornya Jokowi. Publik sebagian sontak menjadi meradang dan menuding segala sesuatu dari mulai nama-nama binatang hingga menyeret nama seteru Jokowi saat itu, Prabowo Subianto yang di anggap melakukan black campaign. Apa yang terjadi? Velix Wanggai, donatur atau boss dari Setiyardi Budiono, pemimpin redaksi dari Obor Rakyat itu malahan berakhir dengan menjadi Komisaris Aneka Tambang yang basah kuyup dengan uang trilyunan rupiah. Ada apa ini? Be smart! Itu saja.
Nah, sekarang menjelang 2019 publik kembali dihangatkan kembali dengan kasus Saracem yang di giring oleh beberapa pihak sebagai pelaku ujaran kebencian persis seperti Obor Rakyat dahulu. Saracen di tuding menerima orderan untuk menciptakan kondisi yang tidak kondusif bahkan bisa berakhir dengan kericuhan sosial, teruma di dunia maya. Dunia yang kini lebih diperhatikan oleh rejim saat ini. Rejim ini lebih getol memperhatikan rakyat-rakyat dunia maya ketimbang rakyat-rakyat yang bingung dengan daya beli yang terus menurun, persis seperti mulai tutupnya Ramayana, sebuah retail yang identik dengan destinasi belanja rakyat kelas bawah. Bahkan di duga Hypermart, sebuah perusahaan besar di retail pun mulai ngos-ngosan menjalankan usaha mereka.
Saracen yang merupakan olok-olok para Knight Templar, pejuang dibawah Paus dahulu saat terjadinya Perang Salib. Panggilan tersebut bermuasal dari kata dari Bahasa Yunani (), yang diduga berasal dari bahasa Arabsyarqiyyin ("orang-orang timur"), namun dugaan ini tidak memilik dasar yang kuat.[2] Istilah ini pertama kali dipakai pada awal masa Romawi Kuno untuk menyebutkan sebuah suku Arab di Semenanjung Sinai. Pada masa-masa berikutnya, orang-orang KristenRomawi memperluas penggunaan ini untuk menyebut orang Arab secara keseluruhan. Setelah berkembangnya agama Islam, terutama pada masa Perang Salib, istilah ini digunakan terhadap seluruh Muslim (orang Islam).[3] Istilah ini disebarkan ke Eropa Barat oleh orang-orang Bizantium (Romawi Timur) dan Tentara Salib.[1]
Apa yang bisa dipetik dari pemilihan kata Saracen ini oleh kelompok orang yang sebagian telah ditangkap oleh aparat? Mereka sedang melancarkan sebuah peperanga asimetris. Mereka tengah membuat sebuah persepsi massa bahwa Islam adalah agama yang intoleran, anti kemajemukan dan alergi kepada keberagaman. Konten provokatif di situs Saracen kuat sekali impresi betapa muslim tengah terinspirasi untuk memulai perang suci. Padahal dalam sejarah, tidak ada inisiasi atau pre-emptive dari pejuang Islam selain respon atau sikap-sikap defensif. Pro Islam tapi memilih nama yang penuh olok-olok tersebut? Bahlul kuadrat!
Ide Saracen ini adalah setolol-tololnya ide untuk sebuah strategi mempertahankan legitimasi atau sebuah era tirani yang kemaruk kekuasaan. Bagi mereka kekuasaan adalah kebutuhan absolut. Sikap machiavellian yang menjijikkan tengah dipertontonkan. Alih-alih mensejahterakan rakyat dengan semboyan "kemanusiaan yang adil dan beradab dan menuju masyarakat adil dan makmur". Rejim lebih memilih mengagendakan praktek-praktek pragmatisme berupa penggunaan anggaran negara untuk kelompok tertentu. Isu tentang kereta api cepat Jakarta-Bandung, tol layang hingga ke Cikampek dan beberapa proyek infrastruktur yang massif hanya untuk "menyenangkan kelompok tertentu". Tudingan bahwa sebut saja salah satunya yakni Meikarta adalah wujud dari apa yang di sebut dengan "ongkos politik" Â seperti mendapatkan pembenaran.
Beruntung Indonesia masih memiliki Rachmawati Soekarnoputri, Alfian Tanjung, Habib Rizieq bahkan Sri Bintang Pamungkas yang memaksa kita melek dan tidak boleh merem sedikitpun agar Indonesia tidak di caplok habis oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya intoleran tapi berteriak merekalah pelaku intoleranisme akut.
Bisa jadi para donatur dari Saracen kelak akan mendapatkan hal yang sama seperti Velix Wanggai yang saat ini tersenyum dan duduk manis di kursinya sebagai Komisaris. Apa yang tidak mungkin di negeri Ratna Mutu Manikam ini? Benar jadi salah (kriminalisasi) dan salah jadi ikon kebenaran.
Ada baiknya kita berdoa agar Indonesia bisa berlepas segera dari penguasa yang lalim nanti di 2019. Amin! Penulis ingin menyampaikan Salam Bahagia kepada Wanda Hamidah. Kemana nih orang?