Ahok berkilah bahwa dirinya tidak menggusur tapi merelokasi. Sejenak keren sih dalih dari si petahana tukang gusur ini. Kosa kata menggusur itu kan mengunakan kata kerja "gusur" yang jika di cari di KBBI memang tidak diketemukan kecuali setelah diimbuhi seperti, gusur/gu·sur/ v, menggusur/meng·gu·sur/ v menjadikan (membuat, menyuruh) pindah tempat; menggeser tempat.
KBBI memberi arti bahwa menggusur itu menyuruh pindah atau menggeser tempat. Dalam makna sosial penggusuran adalah memaksa mereka yang telah bertempat tinggal untuk pindah ke suatu tempat lain.
Lalu bagaimana arti dari relokasi? Mari kita pergunakan lagi si KBBI yang fenomenal tersebut. Maka ditemukan sebagai berikut. relokasi/re·lo·ka·si/ /rélokasi/ n pemindahan tempat: rencana -- industri di daerah itu segera diwujudkan;Â
Lalu dimana bedanya? Seperti KBBI memberiktan intepretasi bahwa relokasi lebih kuat tendensi terkait rencana kerja berbalut komersialisasi. Bisa jadi yang di Kali Jodo terpampang plakat nama Sinarmas menjadi shahih bahwa alih-alih untuk kepentingan masyarakat yang terjadi sebenarnya adalah sebuah skema bisnis atau industri yang mengatasnamakan rakyat. Sungguh jahat.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya SP 1, 2, dan 3, dihancurkannya rumah-rumah warga, dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak," ujar Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi melalui keterangan tertulis di www.ciliwungmerdeka.org, Kamis (5/1/2017).
Dan apesnya, penggusuran atau relokasi yang dilakukan Ahok atas nama pengelolaan kota ternyata tidak sepenuhnya dipayungi oleh kekuatan argumentasi hukum yang memadai. Beberapa kali kebijakan sepihak dan ditengarai hanya memperkaya segelintir warga Jakarta tersebut menuai badai kegagalan. Sebut saja beberapa keputusan dari PTUN yang mengabulkan gugatan nelayan untuk proyek Reklamasi berbau memperkaya sejumlah orang (Agung Sedayu, Podomora dan Sinarmas).
Relokasi atau penggusuran serta proyek reklamasi yang menghancurkan ekosistem dan biota laut tersebut hanya mampu dijual Ahok pada tataran imajinasi karena jika benar itu sebuah pola kebijakan yang humanis, proyektif dan maslahah tentu saja akan menjadi konten utama dari sesumbar Ahok di sekian banyak kesempatan. Rakyat yang kehilangan hak hidupnya di jaman Ahok menurut Anies Baswedan telah mencapai titik paling menyedihkan. Ratusan kali penggusuran yang mengakibatkan begitu banyak implikasi. Yang kentara adalah hilangnya hak warga untuk memilih calon yang akan membantu mereka mendapatkan taraf hidup yang sejahtera.
Ahok hanya memproduksi Qlue yang malahan menimbulkan antipati perangkat sosial yang paling strategis, RT dan RW. Sebuah perangkat yang paling membantu pemerintah di berbagai aspek. Atau yang mungkin masih dibanggakan adalah mampu menaikan jumlah pendapatan aparatur di pemerintahan daerah DKI Jakarta berikut kehilangan harga diri dan dipermalukan disetiap kesempatan.
Apalagi jika diimbuhi kesukaan dirinya untuk mencela ajaran Islam. Jangan sesumbar dilapak ini tentang memberangkatkan umroh sejumlah marbot. Sesumbar kampungan yang hanya menambah rekaman kegagalan Ahok mengelola umat islam sebagai mayoritas di Jakarta. Pendakwah internasional Dr. Zakir Naik menyebutkan perangai hipokrit yang kemudian terpelintir menjadi sikap munafiq. Pelintiran tanpa nalar dari pendukungnya untuk excused dari kejaran makna hipokrit. Memberangkatkan marbot umroh lalu menghina ayat-ayat suci. Tidak ada julukan yang lebih tepat dari kata hipokrit. Naik betul memberikan label dan kemudian dipelintir oleh para pendukung cyber Ahok di media online.
Penggusuran yang berbuah hilangnya hak pilih dan tercabutnya hak berkehidupan rakyat-rakyat kecil di Jakarta kemudian terelaborasi dengan para penentang Ahok terkait penghinaannya kepada syariat islam (kasus pelarangan takbir, pelarangan pemotongan hewan qurban dan terakhir kasus Kepulauan Seribu). Alhasil gerakan massif ini akan mencapai puncaknya pada tanggal 19 April nanti. Menolak Ahok bagaikan membangun sebuah peradaban baru yang berlandaskan keadilan dan kemakmuran. Jangan terjebak dengan semboyan anti korupsi tapi Ketua dari Gadis Ahok sudah menjadi tersangka oleh kasus KTP-El. Dan bisa jadi sebagian hasil mega korupsi tersebut menjelma menjadi bahan bakar untuk upaya memenangkan Ahok.
Dua perangkat dari tim pemenangan Ahok yakni Teman Ahok dan Gadis Ahok sudah telak-telak telah membawa bau sangit uang haram yang bisa jadi lebih busuk dari bau aliran sungai yang tersumbat oleh bedeng-bedeng yang seharusnya menjadi concernJokowi untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia melalui mantra Nawa Cita. Dan bukan sekedar bagi-bagi sepeda dan buku serta baju seragam sekolah yang di lempar dari dalam mobil kepresidenan.
Salam Anti Penggusuran dan Relokasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H