Aku datang pada bara tungkumu. Dari wajah tak tercacah. Dari bentuk yang terkutuk. Dari wujud yang tersudut. Dari onggok barang yang terbuang. Membiarkan diri terbakar api.
Aku datang juga pada bara tungkumu. Dari daur sampah sumpah serapah. Dari gudang di sudut belakang. Dari rongsok bersarang kodok. Berdiam diri di tengah kobaran api.
Api menjulang tinggi. Sebentuk cermin merah kromatik. Pemantik rupa perias diri. Titik balik tatkala Ibrahim bercermin dalam kobaran api. Api adalah api. Hakekat api menemui fitrahnya sendiri.
Lalu ... dentang palu bertalu talu. Seperti simfoni orkestra memikat hati. Harmoni lahir dari partitur komposisi para musisi. Tenggelam dalam irama meresap hati.
Pandai besi mengukir ornamen dengan teliti. Sehalus hati terkerat mimpi. Sebentuk rupa yang ia rasa. Selaksa estetika indah tak terkira.
Meski ia datang dari kandang tak terpandang. Begitu luruh pada taman taman persemaian. Bunga bunga indah merekah sedalam hati. Aroma harum menyebar tak bertepi.
Imam Muhayat, Denpasar 31 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H