Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Nasional - Mondial

1 September 2016   15:52 Diperbarui: 3 September 2016   14:12 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kubuka pintu gerbang
Beribu-ribu pipih iklan menghadang jalan
Berkibar silih berganti warna baru
Golak-galik kilau citra di angkasa biru
Selalu saja terpetik kata 'misalnya'
Serasa semua nyaman-nyaman saja

Peta pitar kota baru
Sejak dulu sudah dirindu
Bandara begitu rupa tertata
Tempat inap megah-megah begitu rupa
Demaga, labuh pesona muat bongkar
Segala penjuru jalan tol kian mengular

Jika kini bertabur kata seharusnya ...
Atau bagaimana hal itu bisa terjadi
Apalagi menolak rencana tata kelola
yang sudah ada, lagi keburu mendunia
Sama halnya arti menjilat ludah sendiri
Yang dulu sudah dirindu dan disepakati
Tentu salah dalam puisi: merpati tak pernah ingkar janji

Lalu ...? Diam, biarkan, cuci tangan
Tidak ..., jalan masih panjang
Lahan tidur masih banyak tak terurus
Duduklah bersama mencari jurus-jurus
Semua bisa ditata sebaik rancangan
Keseimbangan alam terletak sejauh kecermatan hitungan

Rumah Cengkir, 01.09.2016. Puisi: Imam Muhayat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun