Mohon tunggu...
Imam Muhayat
Imam Muhayat Mohon Tunggu... Dosen - Karakter - Kompetensi - literasi

menyelam jauh ke dasar kedalaman jejak anak pulau

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pasak Bumi

11 Agustus 2016   08:18 Diperbarui: 11 Agustus 2016   08:22 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Planet ini dari bijian zarrah magnit

Tertuang dari secangkir kopi keagungan

Lingkaran hari silih berganti

Kasih yang terpilih

Manzilah bubung yang merambung ulfah

Tiada duanya di planet lainnya

Parcel dari-Nya untuk manusia

Tersedia atas rekayasa perpisahan Adam dan Hawa

Di ceruk planet ini salah satunya Indonesia

Sudah 71 merdeka

Larut asyik menziarahi makam anak-anaknya

Perseteruan Qobil dan Habil masih saja terpelihara

Pasak bumi: Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika

Seperti rajah yang dipungut dari tong sampah

Gelandangan pun ramah memilah-milah

Berumah dari lembar-lembar kertas yang patah-patah

“Jika TPA sampah terus menggunung

Gunung menyampah dari sumpah-serapah

Sumpah serapah yang melimpah dari lembar-lembar sajadah

Lalu dimana lagi karamah dan sa’adah mesti berumah?” keluh penyair yang mengernyitkan dahinya sembari ngeloyor entah ke mana

Rumah Gedang, 11.08, Imam Muhayat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun