Bagaimana mungkin ‘penyek’ tidak menjadi buah bibir?
Semakin panjang ‘penyekjekan’ bisa jadi bahan ejekan
Layaknya korban impitan dan injakan tanpa tabir
Selalu salah seberapa polah yang dipantas-pantaskan
“Irage tidak suka nama itu,” serempak suara
“Bagaimana kalau Pandawa?” Kilahnya
“Bukit indah aslinya, gala-gala tinggal sematnya,” serunya
“Kren, kan, jadinya!” Semua puas keputusan bersama
Uraian kian tajam terawang masa silam
Berlabuh pada ladang-ladang Kurusetra
Gemerlap lampu di Hastinapura
Karenanya, Amarta makmur sentosa di tangan Panca Pandawa
Bukit Yudistira musti rindang tumbuh kembang
Lelaku Puntadewa yang arif bijaksana, tanpa musuh
Pantang dusta, mudah memberi ampunan lahir dari keyakinan
Berani berspekulasi penuh percaya diri sebagai pemeluk teguh
Bukit Yudistira, inspirasi pesan menuju pantai Pandawa
Bukit Bima seperti sosoknya kuat kekar berwajah sangar
Tapi baik hati nan gagah berani
Peka membaca lekuk senjata gada, buah tangan suntuknya belajar
Hingga tak terlena menjilat ludahnya sendiri
Bukit Bima, belahan makna menuju pantai Pandawa
Bukit Arjuna tanah pertapa juga kembara ria
Diam dalam sunyi menakar kecermatan
Melindungi sepenuh hati siapa hendak ke mana
Lemah lembut geliat gerakan
Bukit Arjuna, mengemas rasa membilas asa menuju pantai Pandawa
Bukit Nakula, berumah kesatria elegan tampil penuh ketampanan
Taat norma dan nilai hingga pandai balas budi
Orang tua pun tetangga dimuliakan pada proporsi tuntunan
Di kedalaman empati terjaga rapi
Bukit Nakula, kesatria Pinten berdiri tegak menuju pantai Pandawa
Bukit Sadewa, bermakam kesatria juru arah keraguan
Rajin dan bijaksana dalam merawat kuncup kepastian
Mekar di kelopak bunga-bunga tanah lapang
Tak sempurna arah tujuan di kala raib dari peta perjalanan
Bukit Sadewa layaknya teleskop Bosscha dari tepian pantai Pandawa
Rumah Gedang, 9/8, Imam Muhayat