catatan yang penuh dengan coretan mimpi-mimpi yang ia tulis dengan semangat sebelumnya. Namun, pada akhirnya, halaman-halaman itu hanya menjadi saksi tanpa kata-kata dari perjuangannya melawan rasa ragu. Diah duduk di bangku taman dan menatap langit jingga keemasan saat senja. Di tangannya, sebuah buku
"Kenapa aku selalu merasa tidak cukup baik?" gumamnya pelan, seolah-olah angin yang membawa suara itu telah pergi.
Rina, teman lama yang sudah lama tidak ia temui, berjalan menghampirinya dari jarak jauh. Wajah Rina yang ramah membuat dia sedikit tenang, meskipun dia masih terkejut.
"Kamu tidak berubah, Diah. Selalu suka tempat tenang seperti ini," kata Rina sambil tersenyum hangat.
"Aku hanya butuh waktu untuk berpikir," tersenyum Diah.
"Masih suka menulis mimpi?" Rina bertanya sambil menatap buku catatan Diah yang terbuka.
"Entah kenapa, akhir-akhir ini aku merasa semua yang aku lakukan sia-sia," jawab Diah pelan. Saya melakukan banyak upaya, tetapi selalu merasa tidak cukup. Dunia bergerak maju, tetapi aku? Rasanya tidak bergerak.
Rina terdiam sejenak sebelum menepuk bahu Diah dengan lembut, bertanya, "Diah, kamu ingat nggak waktu dulu kita masih sekolah?" Kamu yang selalu bilang ke aku bahwa mimpi itu bukan tentang seberapa cepat kita mencapainya, tetapi tentang bagaimana kita percaya pada diri kita sendiri melewati jalan yang panjang.
Diah tidak berkata apa-apa, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Kamu tahu nggak?" tanya Rina. "Karena itu, aku berani mengejar mimpiku." Setiap langkah kecil itu penting, seperti yang Anda katakan. Sekarang aku di sini, melihat Anda ragu-ragu. Padahal, Diah yang saya kenal tidak pernah menyerah.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Diah merasakan kata-kata Rina menusuk hatinya dengan kehangatan---bukan dengan luka, tetapi dengan kehangatan yang menghidupkan kembali percikan kecil yang hampir padam.