Mohon tunggu...
IMAM MUDIN
IMAM MUDIN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon (UINSSC)

Ciptakan Karya Manfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Langit Biru

15 Desember 2024   10:32 Diperbarui: 15 Desember 2024   10:34 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit sore berwarna jingga, mengguratkan rasa rindu pada hati yang telah lama kehilangan arah. Di pelataran rumah tua, angin mengelus dedaunan yang berguguran. Seorang gadis bernama Ratri berdiri di sana, matanya menerawang jauh ke langit, seolah mencari sesuatu yang hilang di balik langit.

Dengan nama Ratri, yang berarti malam, dia lahir dengan hati yang selalu menginginkan pagi. Ia adalah penunggu setia senja dan menunggu angin membisikkan cerita masa kecilnya yang tertinggal. Rumah tua itu lebih dari sekadar bangunan; itu adalah kenangan yang memeluk segala kebahagiaan dan kesulitan.

Apakah langit ini juga pernah melihat getaran hatimu untukku?"bisik Ratri, bicaranya terbawa angin dan menghilang bersama desau dedaunan."

Saat itu, waktu seolah-olah melambat. Tulisan pada kertas tua mulai memudar saat Ratri memegangnya. Ini adalah surat terakhir yang dikirim oleh seorang pria bernama Arga, yang saat ini hanya tinggal dalam kenangan. Dia seperti hujan yang selalu tahu kapan akan turun.

"Jika aku awan, kau angin. Tanpamu, aku tidak tahu ke mana harus melayang."

Senyuman pahit keluar dari bibir Ratri. Cinta mereka dulu seperti puisi yang tak pernah selesai, mengalir terus namun tidak pernah selesai. Lelaki berani itu, Arga, telah pergi lama tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.

Kaki menggema di pelataran di tengah lamunannya. Seorang lelaki paruh baya muncul di ambang pintu, wajahnya mengingatkan Ratri pada aliran sungai yang berkelok saat dia masih kecil. Pak Surya adalah orang yang telah menjaga rumah tua itu sejak lama.

"Masih mencarinya, Ratri?" tanyanya dengan nada lembut, seperti senja yang tidak pernah memaksa malam tiba.

"Mungkin aku tak benar-benar mencarinya. Aku hanya ingin memahami mengapa ia pergi tanpa alasan," kata Ratri perlahan.

"Arga bukanlah pria yang suka meninggalkan jawaban. Tapi, ia meninggalkan sesuatu untukmu," kata Pak Surya dengan tersenyum tipis.

Dengan tangan yang gemetar, Pak Surya menyerahkan buku kecil yang berisi coretan tangan Arga. Buku itu penuh dengan puisi yang dipenuhi dengan metafora tentang waktu, kehilangan, dan cinta.

Jika waktu adalah perahu, Ratri, bintang malamku, aku berharap bisa menyeberangi lautan waktu untuk kembali kepadamu.

Meskipun dia menangis, itu bukan karena kesedihan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa Arga tidak benar-benar pergi; setiap bait yang ia tulis, setiap langkah yang Ratri ambil untuk menunggu senja, memberinya kehidupan.

Langit jingga mulai memudar, dan malam tiba. Namun, hati Ratri sekarang bersinar seperti bulan yang mengambil cahaya matahari.

"Arga, aku akan melanjutkan puisi kita," katanya sambil tersenyum.

Sejak saat itu, Ratri menulis setiap sore, menulis kisah cinta yang tidak pernah selesai hingga suatu hari ia yakin Arga akan tersenyum di balik langit jingga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun