Dalam dunia yang semakin terkoneksi melalui globalisasi, identitas nasional menjadi sangat penting dalam memahami masyarakat. Identitas nasional bukan hanya tentang hal-hal yang bisa kita lihat, seperti budaya, agama, dan bahasa, tetapi juga termasuk nilai, keinginan, dan tujuan bersama. Dengan menggunakan berbagai teori, kita dapat memahami betapa rumitnya identitas nasional dalam masyarakat yang beragam.
Konflik etnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada tahun 2001 menunjukkan betapa sulitnya membangun persatuan di Indonesia yang kaya akan beragam budaya dan etnis. Pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan yang parah, mencerminkan tantangan besar dalam mengatasi perbedaan dan memperkuat kesatuan di negara ini.
Manuel Castells, dalam bukunya "The Power of Identity," memperkenalkan tiga jenis identitas: Legitimate Identity, Resistance Identity, dan Project Identity. Legitimate Identity adalah identitas yang diterima secara umum oleh masyarakat sebagai bagian dari sejarah dan budaya mereka. Resistance Identity muncul sebagai respons terhadap tekanan eksternal atau internal yang mengancam identitas yang ada. Sedangkan Project Identity adalah upaya aktif untuk membentuk atau merekonstruksi identitas nasional.
Pertama-tama, untuk memahami konflik etnis di Sampit, kita perlu menyadari bahwa identitas etnis berasal dari nilai-nilai yang kita terima dari kelompok kita. Ini dipengaruhi oleh bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain dan merasa bagian dari kelompok tertentu. Ketika orang merasa identitas mereka diabaikan atau terancam, konflik etnis bisa timbul. Dalam konflik tersebut. Suku Dayak mungkin melihat diri mereka sebagai pemilik tanah dan pelindung kehidupan tradisional mereka, sementara suku Madura mungkin mencari identitas baru sebagai migran yang berusaha memperbaiki nasib di tempat yang baru. Selain itu, aspek-aspek nasionalisme seperti yang disebutkan oleh Roeslan Abdulgani juga dapat dilihat dalam konflik ini. Ada elemen politis dalam upaya kelompok-kelompok untuk mengklaim kedaulatan atas wilayah tertentu, serta elemen sosial-ekonomi dalam perjuangan untuk memperoleh akses dan kendali terhadap sumber daya yang ada. Aspek kultural juga muncul dalam konflik ini, dengan ketegangan antara identitas etnis yang berbeda dan upaya untuk mempertahankan atau menghidupkan kembali warisan budaya masing-masing kelompok.
Dengan mempertimbangkan berbagai teori dan aspek identitas nasionalisme, kita dapat melihat bahwa konflik di Sampit merupakan hasil dari kompleksitas hubungan antara berbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki identitas, kepentingan, dan tujuan yang berbeda. Dalam menganalisis konflik semacam ini, penting untuk memahami peran identitas, politik, ekonomi, dan budaya dalam dinamika konflik yang terjadi.
Dengan identitas nasional Indonesia yang mencakup semua elemen keberagaman yang ada di dalamnya. bukan hanya soal mengakui keberadaan berbagai suku, agama, dan budaya, tetapi juga tentang memelihara dan merayakan keberagaman tersebut sebagai kekayaan bangsa. Dalam konteks konflik di Sampit, memahami bahwa identitas nasional Indonesia mengakui dan merangkul semua perbedaan ini dapat menjadi pijakan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang inklusif.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil adalah melalui penguatan pendidikan multikultural. Pendidikan yang mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman budaya dan nilai-nilai inklusifitas dapat membantu mengurangi prasangka antar kelompok etnis. Dengan memahami dan menghargai keberagaman, diharapkan masyarakat dapat membangun rasa saling pengertian dan menghormati satu sama lain.
Tidak hanya itu, perlunya langkah-langkah konkret untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial-ekonomi juga menjadi krusial. Ketidaksetaraan ini sering menjadi pemicu konflik, dan dengan memperkuat akses yang adil terhadap sumber daya dan peluang, diharapkan akan mengurangi ketegangan antar kelompok etnis di Sampit.
Selain itu, memperkuat kesadaran akan simbol identitas nasional Indonesia juga sangat penting. Melalui kampanye publik dan program pendidikan yang menyeluruh, masyarakat perlu diingatkan akan nilai-nilai bersama yang menjadi dasar identitas nasional, seperti semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang menggambarkan persatuan dalam keberagaman.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyelesaian konflik di Sampit memerlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga non-pemerintah. Kerja sama yang sinergis dalam merancang dan melaksanakan solusi-solusi yang inklusif dan berkelanjutan akan membantu mempromosikan perdamaian, rekonsiliasi, dan pembangunan masyarakat yang menerima semua orang.
Dalam menjalani proses penyelesaian konflik di Sampit, kita diingatkan kembali akan pentingnya merangkul identitas nasional Indonesia yang inklusif. Dengan memahami keberagaman sebagai kekuatan, bukan sebagai sumber konflik, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang damai dan bersatu dalam keberagaman, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.