[caption caption="JPNN.com"][/caption]
Sebagai rakyat yang masih mengharapkan kepemimpinan Presiden Jokowi agar dapat menjalankan visi dan misi “nawacita” dengan revolusi mental yang pernah disampaikannya ketika berlangsung kampanye Presiden beberapa waktu yang lalu, kita masih tetap yakin prinsip yang terus dipegang Kabinet Jokowi-JK adalah Kerja, Kerja dan Kerja.
Oleh sebab itu jauh-jauh hari Presiden Jokowi menyebutnya sebagai Kabinet Kerja. Perkara akhir-akhir ini banyak persoalan-persoalan yang melindas kabinet Kerja sehingga menyebabkan terkesan banyak tersendat dan lelet, sehingga hasil nya kurang memuaskan publik hal ini pastinya bukan hanya sekedar gaya kepemimpinan Jokowi semata.
Akan tetapi tingkat profesionalisme para menteri-menterinya yang berasal dari lima partai koalisi juga sangat mempengaruhinya. Dan yang paling penting dalam hal ini adalah faktor eksternal yang menyandera Jokowi, bagaikan rantai yang membelenggu yang dipakaikan kepadanya khususnya para menteri-menterinya yang berasal dari non partai.
Sehingga dalam kurun waktu kerja yang sudah hampir mencapai waktu satu tahun itu prestasinya boleh dikatakan minim, walaupun begitu ada juga beberapa menteri yang berkerja keras sehingga lumayan mendapat nilai cukup bahkan mendekati baik.
Seperti yang sudah disebutkan diatas ada tiga faktor penting agar pemerintahannya Jokowi –JK kedepan dapat memperoleh hasil yang dapat diharapkan publik. Pertama adalah gaya kepemimpinan Jokowi, kedua tingkat profesionalismenya para menteri-menterinya dan yang ketiga adalah faktor eksternal yang membelenggu Jokowi.
Faktor ketiga ini adalah kekuatan partai politik yang membelenggunya, atau dengan kata lain Jokowi masih belum berani 100% melakukan kompromi-kompromi politik khususnya dengan KMP. Yang pertama kepemimpinan Jokowi terlalu sering terjadi miss komunikasi antara menteri-menterinya dengan politisi di DPR khususnya yang berasal dari fraksi PDIP.
Disamping itu masih ada menteri-menteri Jokowi yang kurang dapat menyerap program kerja Jokowi sehingga sering terjadi blunder baik yang berasal dari kalangan profesional maupun para menterinya yang berasal dari partai Politik. Seperti kasus uang muka mobil dinas, pernyataan hutang luar negeri, rakyat tak jelas, dan terbaru adalah beredarnya rekaman dari seseorangmenteri yang isinya menghina Presiden Jokowi.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor ketiga yang sangat perlu mendapat perhatian ekstra dari Jokowi-JK. Artinya bila Jokowi akan benar-benar melakukan perombakan kabinetnya maka yang harus dipertimbangkan oleh Jokowi adalah pertimbangan keuntungan berganda melalui kompromi-kompromi politik yang lebih kuat terhadapa dua koalisi besar yang mengelilinginya yaitu KIH dan KMP.
Artinya Jokowi disamping memdapatkan menteri yang berkualitas namun ia sekaligus dapat memberi warna dukungan politik baik di pemerintahannya maupun dukungan politik di Parlemen. Cara ini memerlukan pendekatan politik yang lebih intens, sebab tanpa dukungan politik yang signifikan di parlemen, jalannya pemerintahan Jokowi dikhawatirkan banyak mengalami ganjalan.
Contohnya saja program kerja Jokowi dalam 100 hari kerja sedikit banyak mengalami perjalanan yang seret, karena faktor politik saat itu Parlemen dalam kondisi kacau balau, isinya dipenuhi dengan perserteruan-perseteruan antara KIH dengan KMP, sehingga untuk melakukan sinergitas kerja yang harmonis praktis menjadi terhambat.
Pendekatan Jokowi agar lebih sering melakukan kompromi-kompromi politik bukan berarti Jokowi menghilangkan hak-hak kekuasaannya dalam memilih dan mengangkat seorang menteri.
Akan tetapi jika Jokowi masih mempertahnkan 100 persen hak prerogatifnya dalam memilih seorang menteri-menterinya, hasilnya pasti tidak akan berbeda jauh dengan kabinet kerja yang pernah dibentuknya sebelumnya, dan terbukti dalam perjalanannya sangat tersendat, tidak seperti apa yang diinginkannya.
Memang idealnya dalam menjalankan roda pemerinyahannya Jokowi seharusnya berprinsip menjalankan secara murni Presidential, sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi, akan tetapi kondisi demikian tidak memungkinkan dijalankan.
Karena disamping jokowi bukan seorang pemimpin partai besar yang memenangkan pemilu secara mutlak, iapun pada hakekatnya adalah seorang kader partai yang tidak mempunya kedudukan struktural puncak dalam kepartaian.
Sehingga untuk mencapai kondisi pemerintahan Jokowi yang jauh dari konflik politik, ia harus melakukan kompromi-kompromi politik baik dengan KIH maupun dengan KMP. Baru setelah kabinet hasil kompromi politik terbentuk, Jokowi dapat dengan leluasa menjalankan prinsip kabinet kerja yang dibentuknya dengan tetap berpegang pada prinsip, Kerja, Kerja dan Kerja.
Dengan dukungan penuh dari KIH dan KMP maka kabinet kerja Jokowi sekarang menjadi kabinet yang berwajah 10 partai tetapi berprinsip kerja, kerja dan kerja untuk mensukseskan program yang diidamkan rakyat , yaitu nawacita dan revolusi mental.
Kedepan tidak hanya 3 orang menteri yang bernilai baik , akan tetapi akan naik menjadi 3 x 10 muka menteri yang berprestasi kerja lumayan baik dari jumlah seluruhnya 34 orang menteri, setidaknya telah mencapai lebih dari 86 % pencapaian target nawacita yang diidamkan Jokowi-JK.
Menghilangkan Blunder Komunikasi
Kini presiden dengan kondisi politik yang relatif lebih stabil, dapat menambah posisi wakil menteri untuk pos-pos yang dianggap dalam melaksanakan program nawacita, misalnya yang berhubungan dengan tenaga ahli dan profesional bidang ekonomi dan pembangunan, Pendidikan dan riset, kelautan dan perikanan, pertahanan dan keamanan, energi dan sumber daya alam, hukum dan tata pemerintahan, ekonomi kreatif dan pariwisata, politik luar negeri dan seterusnya.
Langkah ini disamping dapat memberikan kontribusi positip dalam kinerja para menteri dan yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menghilangkan blunder-blunder kinerja antar menteri, maupun menteri dengan politisi DPR, yang pokok agar tidak terjadi lagi miss komunilkasi antara menteri dengan Presidennya.
Kita abaikan dulu apa yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi ketika kampanye Presiden, yang akan membentuk struktur kabinetnya yang ideal, sebab dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia selama lebih dari 60 tahun pembentukan kabinet yang ramping pada kenyataannya belum pernah terjadi.
Sehingga apa yang dilakukan seandainya Jokowi akan menerapkan pembentukan kabinet presidensiil tetapi yang berwajah 10 partai, sebagai langkah yang sangat wajar, dan senada dan seirama dengan para pendahulu-pendahulunya. Perbedaannya adalah kabinet Jokowi walaupun berwajah 10 partai akan tetapi berkomitmen melaksanakan kerja kerja dan kerja melaksanakan Nawacita dan revolusi mental.
Melihat ketulusan dan keseriusan serta rekam jejak Presiden Jokowi, kita tidak meragukan sedikitpun bahwa kedepan segala kesulitan dan halangan akan dapat diselesaikan oleh Jokowi dengan hasil gemilang. Semoga Tuhan Meridhoinya. Amin ya Robal ‘Alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H