Contohnya saja program kerja Jokowi dalam 100 hari kerja sedikit banyak mengalami perjalanan yang seret, karena faktor politik saat itu Parlemen dalam kondisi kacau balau, isinya dipenuhi dengan perserteruan-perseteruan antara KIH dengan KMP, sehingga untuk melakukan sinergitas kerja yang harmonis praktis menjadi terhambat.
Pendekatan Jokowi agar lebih sering melakukan kompromi-kompromi politik bukan berarti Jokowi menghilangkan hak-hak kekuasaannya dalam memilih dan mengangkat seorang menteri.
Akan tetapi jika Jokowi masih mempertahnkan 100 persen hak prerogatifnya dalam memilih seorang menteri-menterinya, hasilnya pasti tidak akan berbeda jauh dengan kabinet kerja yang pernah dibentuknya sebelumnya, dan terbukti dalam perjalanannya sangat tersendat, tidak seperti apa yang diinginkannya.
Memang idealnya dalam menjalankan roda pemerinyahannya Jokowi seharusnya berprinsip menjalankan secara murni Presidential, sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi, akan tetapi kondisi demikian tidak memungkinkan dijalankan.
Karena disamping jokowi bukan seorang pemimpin partai besar yang memenangkan pemilu secara mutlak, iapun pada hakekatnya adalah seorang kader partai yang tidak mempunya kedudukan struktural puncak dalam kepartaian.
Sehingga untuk mencapai kondisi pemerintahan Jokowi yang jauh dari konflik politik, ia harus melakukan kompromi-kompromi politik baik dengan KIH maupun dengan KMP. Baru setelah kabinet hasil kompromi politik terbentuk, Jokowi dapat dengan leluasa menjalankan prinsip kabinet kerja yang dibentuknya dengan tetap berpegang pada prinsip, Kerja, Kerja dan Kerja.
Dengan dukungan penuh dari KIH dan KMP maka kabinet kerja Jokowi sekarang menjadi kabinet yang berwajah 10 partai tetapi berprinsip kerja, kerja dan kerja untuk mensukseskan program yang diidamkan rakyat , yaitu nawacita dan revolusi mental.
Kedepan tidak hanya 3 orang menteri yang bernilai baik , akan tetapi akan naik menjadi 3 x 10 muka menteri yang berprestasi kerja lumayan baik dari jumlah seluruhnya 34 orang menteri, setidaknya telah mencapai lebih dari 86 % pencapaian target nawacita yang diidamkan Jokowi-JK.
Menghilangkan Blunder Komunikasi
Kini presiden dengan kondisi politik yang relatif lebih stabil, dapat menambah posisi wakil menteri untuk pos-pos yang dianggap dalam melaksanakan program nawacita, misalnya yang berhubungan dengan tenaga ahli dan profesional bidang ekonomi dan pembangunan, Pendidikan dan riset, kelautan dan perikanan, pertahanan dan keamanan, energi dan sumber daya alam, hukum dan tata pemerintahan, ekonomi kreatif dan pariwisata, politik luar negeri dan seterusnya.
Langkah ini disamping dapat memberikan kontribusi positip dalam kinerja para menteri dan yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menghilangkan blunder-blunder kinerja antar menteri, maupun menteri dengan politisi DPR, yang pokok agar tidak terjadi lagi miss komunilkasi antara menteri dengan Presidennya.