[caption id="attachment_385317" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi. (Dok. HarianTerbit)"][/caption]
Walaupun diganggu dengan sebaran berbagai isu, jalannya pemerintahan Jokowi-JK berjalan seperti biasanya sebagaimana mestinya. Misalnya gangguan kisruh di DPR sama sekali tidak dianggap sebagai gangguan yang serius. Polemik KPK-Polri konflik antar kelembagaan tidak sampai meluas menjadi konflik politik yang berkepanjangan. Sampai saat ini antara eksekutif dan DPR masih bersinergi positip. Semua itu melalui cara penyelesaian yang mengedepankan kearifan gaya kepemimpinan nurani Jokowi.
Penegakan lembaga hukum dan pemberantasan korupsi juga dapat terselesaikan bahkan berhasil mengurai benang kusut dan melepas pejabat di KPK maupun Polri yang terindikasi penuh dengan konflik kepentingan. Walaupun langkah tersebut dinilai belum maksimal, karena pejabat Polri dan KPK sejakjaman SBY dibentuk penuh dengan kepentingan politik.
Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan lawan-lawan politik pemerintah adalah kenaikan harga BBM , Gejolak nilai tukar rupiah, Polemik pemilihan Jaksa Agung dan beberapa menteri yang dicap sebagai trio macan istana dan masih banyak lagi kesemuanya itu dapat terurai dengan cara persuasif tanpa menimbulkan gejolak yang berarti.
Jauh-jauh hari Jokowi sudah sangat menyadari, dalam perjalanan kepemerintahannya, akan banyak mengalami ujian dan hujatan. Tanda-tanda dapat dilihat dengan sangat jelas. Sebagai gambaran, hantaman begitu hebatnya kubu KMP dalam pemilu Presiden melakukan fitnah melalui kampanye hitam, sampai kepada lingkungan pribadi dan keluarganya.
Setelah KPU mengumumkan bahwa Jokowi memenangkan pemilu presiden, fitnahan tidak juga mereda malah semakin hebat, usaha untuk tetap mengalahkan presiden terpilih tetap dilakukan melalui MK. Usaha inipun gagal pada akhirnya, namun KMP tidak mengenal menyerah, mereka membangun dan memperkuat lagi bangunan koalisi agar kekuatan di badan legislatif memenangkan secara mayoritas.
Usaha ini berhasil, yaitu ditandai dengan semua kursi ketua dan wakil ketua dalam badan legislatif dikuasai KMP. Akan tetapi sebenarnya secara psikologis politik koalisi merah putih di parlemen sangat lemah, karena dilahirkan bukan atas kesadaran, lebih tepatnya berbau keterpaksaan. Jika kita amati dengan seksama ternyata kekuatan mayoritas di legislatif inipun hanya kuat dari luar akan tetapi sebenarnya sangat keropos dari dalam.
Terbukti didalam perjalannya membangun kekuatan di parlemen, dalam hitungan bulan satu persatu partai Koalisi Merah Putih mengalami penggembosan.
Pertama dengan rasa malu-malu Partai Demokrat menyatakan berada pada garis penyeimbang, artinya bukan dikanan atau dikiri, tidak berada di KIH maupun KMP. Orang bilang tidak laki-laki, tidak pula perempuan, jadinya sama dengan banci.
Kedua perpecahan di tubuh PPP sejak terjadipengkubuan, ketika salah satu kubu dibawah naungan SDA lebih memilih bersama Prabowo Subianto dari sinilah sesungguhnya lahirnya gejolak perpecahan yang luar biasa di tubuh PPP. Melalui Muktamar Surabaya yang secara aklamasi memilih Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP akan tetapi versi kubu SDA yang digantikan Djan Faridz masih tetap berada pada lingkaran Prabowo Subianto.
Ketiga yang paling fenomenal adalah perpecahan Partai Golkar. Partai politik dalam lingkar KMP yang paling banyak menempatkan kadernya di DPR dan menjadi andalan kekuatan koalisinya ternyata harapan itu pupus karena lahir Munas Ancol Agung Laksono sebagai tandingan munas Bali Abu Rizal Bakrie.