Mohon tunggu...
Imam Kodri
Imam Kodri Mohon Tunggu... - -

Formal Education Background in UPDM (B) Of Bachelor’s Degree of Politics and Social Science, majoring of Public Administration and Master Degree, Majoring of Human Resources. Worked in various private companies over 30 years, such as: PT. Pan Brothers Textile as HRD Assistant Manager, PT. Sumber Makmur as HRD Manager, General Personnel Manager at PT. Bangun Perkarsa Adhitamasentra, Senior Manager of HRD and General affair at PT. Indoraya Giriperkarsa, Headmaster of Kelapa Dua High School, and the last, Head of the General Bureau and Human Resources at ISTN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aksi Premanisme di DPR Harus Dikutuk! Yang Brengsek Harus Dikutuk!

1 April 2015   09:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para politisi kita sudah banyak yang tertulari dengan budaya ISIS-isme, budaya yang mengedepankan kekerasan ketimbang musyawarah kata perdamaian semakin jauh dari nurani mereka, mereka sudah sangat terbiasa dengan budaya yang menghalalakan segala cara.

Yang mereka kenal tidak lain adalah kekerasan. Jadi yang paling berperan adalah otot, bukan akal sehat, siapa yang ototnya paling kuat dialah yang menang. Kata perdamaian tinggalah sebuah mimpi, yang riilnya sudah sangat asing bagi mereka, perdamaian hanyalah sekedar mitos belaka.

Untuk memenangkan pertarungan dengan cara apapun dapat dilakukannya, tidak ada lagi istilah halal dan haram, bagi mereka pengertian halal adalah masa lalu. Yang penting bagaimana sekarang dapat memenangkan semua pertarungan caranya boleh apa saja.

Bukankah ada diajarkan dalam politik dan hukum yang menyarankan kita boleh menggunakan cara yang tidak baik. Berbuat baik, berbuat kejujuran, boleh saja kita tinggalkan yang penting kan tujuannya. Jika tujuannya untuk yang lebih besar bukankah prosesnya boleh apa saja.

Bila seorang pemimpin ingin sukses dia harus belajar supaya tidak menjadi orang baik, harus sanggup tidak menepati janjinya sekalipun kepada rakyatnya, apalagi hanya sekedar kepada sesama anggota dewan, apalagi hanya sekedar kepada sesama koalisi partai. Kekuasaan dan kekuatan apapun boleh kita pergunakan.

Itulah gambaran para para politisi kita yang sekarang ini, dulu suka sesumbar, katanya mereka berjuang mewakili suara rakyat, suka pamer kata-kata akan membela kepentingan rakyat, akan memberi perlindungan kepada rakyat, akan memberi kesejahteraan kepada rakyat.

Sekarang ini perbuatan mereka sudah persis seperti ajaran politik sesat itu. Perilaku mereka sama dengan preman pasar, seperti yang dicontohkan oleh para kubu yang saling berseteru di tubuh partai Golkar partai yang seharusnya memberikan suri tauladan etika dan moral kepada masyarakat Indonesia.

Mereka telah mempertontonkan adegan premanisme yang sadistik karena telah menginjak-injak hakekat demokrasi. Hukum tidak lagi ada harganya, apalagi etika, tata susila, kesantunan, sama sekali jauh dari kepribadian yang seharusnya mereka miliki.

Kubu yang satu menuduh kubu yang lain telah berlaku curang dan kasar, dituduh demikian kubu lawan menyerangnya balik dengan kata-kata yang tidak kalah ganasnya, keluar juga umpatan kotor, yang tidak layak keluar dari mulut politisi yang terhormat itu. Lihat saja seperti yang dipertontonkan para politisi di gedung DPRD DKI

Rakyat tidak lagi dapat disuguhi ajaran yang menyejukan dan memberi pencerahan pikir dan nalar, yang didapat dari para politisi di parlemen, yang diterima rakyat tidak lebih dari rasa kekecewaan yang dalam, mengapa para politisi, para anggota dewan seperti sudah kehilangan kontrol diri, segala perbuatannya bagaikan hewan liar yang menakutkan.

Demi kekuasaan mereka telah melakukan perbuatan nista kalau tidak saling jotosmereka lakukan saling tuding, saling memaki, saling fitnah, mengumpat dengan mengeluarkan perbendaharaan kata-kata cacian kotor, saling membusukan satu sama lain. Itukah Reformasi? Itukah Nawa Cita? Itukah Kepribadian Bangsa Indonesia yang katanya kepribadian yang agung dan luhur itu?

Arena perseteruan semakin meluas sampai di Gedung Dewan perwakilan Rakyat, gedung milik rakyat yang dibeli dari uang rakyat kini menjadi ajang perseteruan bahkan diperebutkan oleh dua kubu yang saling berseberangan itu. Perilaku mereka persis ISIS dan gerakan radikalisme lainnya, yang sering dicontohkan oleh pasukan teroris.....Mereka pantas untuk dikutuk.....Terutama yang brengsek harus dikutuk.....

Bagaimana mungkin untuk menempati sebuah ruangan di gedung lantai 12 itu harus dengan cara-cara kasar saling gembok dan saling bongkar paksa, anehnya tidak satupun pihak keamanan yang dapat melerai dari semua perbuatan fasis itu.

Kini rakyat sudah disuguhi pemandangan yang eklusif dari partai Golkar yang sudah terpecah menjadi dua kubu yang saling mengklaim di kubu merekalah yang paling benar sendiri.

Apa reaksi masyarakat setelah melihat langsung sikap politisi dan para wakil rakyat di DPR itu?.Apa yang menjadi anggapan mereka tentang anggota dewan itu? Apakah masih menganggap para politisi dan anggota DPR merupakan jabatan mulia dan terhormat ?

Masayarakat semakin sadar, tidak lagi mudah dibohongi, banyak dari anggota dewan yang telah mereka pilih sesungguhnya orang-orang yang sudah hilang jati diri dan kehormatannya, dalam benaknya hanya berisi nafsu kekuasaan yang berlebihan, yang sewaktu-waktu mudah juga untuk mengingkari semua perbuatan.

Masyarakat semakin tajam melihatnya pada puncuk pimpinan partai, partai manapun itu, mereka sesungguhnya hanyalah orang-orang yang sudah terjangkiti nafsu ankara murka, sehingga masih terjadi nafsu saling mengalahkan. Waktunya habis untuk membuat agenda jeratan kepada pimpinan lawan politiknya.

Mengemban amanat rakyat, menjadi corong suara rakyat, membawa misi dan visi rakyat, membawa aspirasi rakyat, telah kehilangan makna sejatinya hanya menjadi pajangan dan hiasan dinding gedung DPR yang megah itu. Hanya dijadikan corong dalam 5 tahun sekali ketika sedang dikumandangkannya corong pemilu.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun