Bukan sekali ini saja Wakil Presiden Jususf Kalla menunjukan sikap yang kurang harmonis dengan Presiden Jokowidodo, beberapa kali tidak sejalan gaya kepemimpinan diantara kedua pemimpin itu. Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha besar memiliki gaya kepemimpinan yang tidak berbanding lurus dengan gaya kepemimpinan Jokowidodo yang merakyat.
Jokowi selalu mengedepankan ketelitian tidak grusa-grusu, sehingga terkesan lambat, namun sesungguhnya kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan, tidak ingin merugikan/menyakiti pihak-pihak tertentu. Sedangkan Jusuf Kalla maunya cepat dalam mengambil keputusan sehingga cepat selesai, cepat dirasakan hasilnya bersama.
Sesuai dengan pengalaman masing-masing kedua memiliki keunggulan. Seharusnya saling melengkapi, tidak perlu dipertentangkan dan menimbulkan masalah. Yang menjadi persoalan apabila salah satu pihak berusaha memaksakan diri terhadap pihak yang lain, itulah yang akan menimbulkan ketidakharmonisan dan pastinya menjadi sebuah hambatan.
Ketika awal pemerintahannya Joko Widodo (Jokowi) bersama Jusuf Kalla hubungan keduanya sering memanas lantaran kerap terjadi silang pendapat masalah pembentukan kabinet kerja. Perbedaan tajam cara pandang antara Jokowi dan Jusuf Kalla, Jokowi cenderung sangat selektif, teliti dengan detail-detail tertemtu, sementara sang wapres memilih terkesan asal comot karena berasal dari person-person yang sudah dikenal dekat dengannya.
Pada persoalan yang sedang dihadapi saat sekarang dalam kekisruhan antara Polri dan KPK Jusuf Kalla tampak sekali kurang berperan aktif untuk penyelesaian konflik antara dua lembaga antirasuah itu. Ada apakah YK terhadap JKW atau sesungguhnya ada banyak ganjalan JK terhadap KPK.
Sebaliknya Jokowidodo lebih sering melakukan hubungan dengan pihak lain, bukankah seharusnya JK harus memberikan kontribusinya dan pro aktif kepada Presiden,paling tidak masyarakat umum akan memberikan penilaian positip adanya kerja sama harmonis, dan ini sedikit banyak membawa dampak psikologis terhadap pihak-pihak yang berseteru.
Sangat disayangkan kenyataannya tidak demikian bila menyimak pernyataan-pernyataan JK terhadap kekisruhan Polri KPK terkesan berseberangan dengan kebijakan JK. Misalnya mengenai pembentukan Tim 9 semula Jk kurang sependapat, namun karena Presiden Jokowi tetap pada pendiriannya akhirnya JK meminta agar Tim 9 tidak diformalkan.
Masalah lain misalnya, JK seringkali memberikan pernyataan ketidaksetujuannya terhadap sepakterjang KPK yang dinilainya sering kebablasan sebagai contoh perihal hadiah kenapa dipersalahkan, kenapa dianggap sebagai pelanggaran.“Kami harus setuju terhadap penegakan hukum, tapi janganlahlembaga penegak hukum menjadi monster yang menakutkan,”kata Jusuf Kalla (Majalah Tempo, 2-8 Februari 2015).
Rupanya JK harus berkonsultasi lagi dengan para ahli hukum tentang pemberian hadiah apakah merupakan jalan yang wajar, bukan merupakan pelanggaran hukum atau beliau sesungguhnya sudah tau tetapi pura-pura tidak tau. Pemberian hadiah kepada pejabat sebenarnya termasuk gratifikasi berarti merupakan suap, sebagaimana yang diatur dalam UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi.
Pasal 12 B (1) menyatakan bahwa “setiap yanggratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Apakah JK akan terus membela BG atas gratifikasi? Apakah JK akan terus membela BG yang mangkir dari panggilan KPK? Ada apa sebenarnya JK dengan BG. Apakah sesungguhnya JK mengkhawatirkan sepak terjang KPK yang mulai menyasar ke dunia bisnisnya?
Diketahui bahwa di bawah naungan Kalla Group, JK memiliki banyak lini bisnis. Kalla Group dibagi dalam enam segmen bisnis, yaitu otomotif, konstruksi, energi, keuangan, properti, dan transportasi. Kebiasaan yang berlaku selama ini di dunia usaha adalah pemberian hadiah sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada seseorang pejabat karena telah membantu menyelesaiakan sesuatu urusan agar lebih lancar dan cepat, misalnya saja dalam proses pengurusan segala macam perijinan.
Apakah kebiasaan tersebut terkait dengan kiprah dengan Kalla Group dalam memajukan bisnisnya? Rupanya ketidak akuran Jusuf Kalla dengan Presiden Jokowidodo menyangkut banyak kepentingan bisnis dan politiknya, tetapi bukan pribadi. Jika demikian JK bukan lagi berperan sebagai memecahkan masalah tetapi malah bagian dari masalah yang dihadapi Jokowidodo.
Yang dikawatirkan bibit-bibit ketidak cocokan JK dengan JKW akansemakin tajam. Kita ingat bersama ketika Jusuf kalla masih menjadi wakil Presiden masa kepemerintahan SBY yang terkenal denga slogan bersama kita bisa. Kenyataannya bersama JK hanya berupa slogan kosong saja, Bersama Kita Bisa, nyatanya pecah kongsi JK dengan SBY. Semboyan "Bersama Kita Bisa" yang diusung SBY sejak pemilihan umum lima tahun lalu, tak bisa lagi dipertahankan, bubaran pecah antara SBY JK.
Sudah mulai tampak jelas JK dipasang dengan siapapun akan banyak mendatangkan perbedaan yang mengarah ketidakharmonisan. Dalam konteks perseteruan KPK Polri, Jokowi lebih berorientasi kepada kepentingan dan tuntutan masyarakat yakni save program program pemberantasan korupsi. Sedangkan JK masih berkutat persoalan individual BG, dalam keterkaitannya kiprah memajukan bisnisnya.
Dari beda cara pandang itu, publik melihat bahwa ada tantangan, tepatnya mungkin persoalan, internal yang sedang menyelimuti kedua calon pemimpin itu. Mampukah Jokowi-JK menemukan jalan keluar dari beda cara pandang itu? Itulah yang kini ditunggu publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H