Sinyal BG tidak dilantik
Pihak Istana telah banyak memberikan sinyal kepada masyarakat terkait dengan batalnya pengangkatan Komjen Budi Gunawan menjadi kapolri menggantikan Jenderal polisi Sutarman. Sinyal kuat yang datang langsung dari Ketua Tim Sembilan Prof. KH Ma’arif. Sebagai seorang cendekiawan dan tokoh besar dari organisasi Islam terbesar nomor dua di Indonesia, pernyataan beliau sangat dapat dipercaya.
Di samping itu kepercayaan dari Sang Presiden kepada Buya Ma’arif memberikan keleluasaan untuk menyampaikan keinginan Jokowi secara jelas kepada publik tanpa ditutup-tutupinya, menunjukkan keseriusan Jokowi menolak BG menjadi kapolri alasan yang masuk akal karena yang bersangkutan terindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang alias korupsi. Presiden juga tidak akan mungkin menyodorkan sekedar isue kepada ulama senior sekedar disampaikan kepada masyarakat.
Sinyal batalnya pelantikan Budi Gunawan menjadi kapolri semakin kuat saja ketika Ketua DPR membenarkan bahwa Presiden Jokowi tidak akan melantik BG menjadi kapolri. Isyarat itu diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa menyebut yang senada dengan pernyataan Menteri Sekretaris Negara yang menyarankan Budi Gunawan sebaiknya mundur dari pencalonan kapolri.
Dengan keadaan yang semakin kecil peluang Budi Gunawan menjadi kapolri, maka pasar CaKapolri kini menjadi semakin terbuka untuk kandidat-para jenderal polisi bintang tiga, yang pasti bakal meramaikan bursa kapolri walaupun di tengah kisruh KPK Polri yang hingga kini kian melebar. Bisikan-bisikan di kalangan masyarakat juga semakin kuat, ketika berita tentang Kompolnas yang sudah mulai menyodorkan nama-nama jenderal calon Kapolri, demikian juga Ini ditandai dengan banyaknya desakan dari kalangan Istana kepada Presiden Joko Widodo untuk mencari calon baru.
Instruksi dan Diskusi Mega Jokowi
Mega memerintahkan kepada para pendukungnya dan kader PDIP untuk memberikan dukungan penuh apa yang menjadi keputusan Presiden Jokowi, termasuk tidak melantik Budi Gunawan menjadi kapolri. Langkah ini diambil oleh Ketua Umum PDI Perjuangan untuk tetap konsisten terhadap dukungan dalam pemerintahan Jokowi.
Dalam kapasitasnya sebagai ketua umum partai, Mega masih tetap memegang teguh komitmennya kepada publik, PDIP adalah partainya wong cilik. Adakah keterkaitannya perkataan Mega dengan pembatalan dukungannya kepada Budi Gunawan. Ternyata Mega lebih melihat masa depan rakyat dan bangsanya daripada kepentingan politik sesaat.
Apalagi hanya pertimbangan untuk segelintir manusia-manusia yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang dan korupsi. Alangkah jauh dari gelora nawa cita bila hanya pertimbangan satu orang BG menjadi alasan untuk mengesampingkan Pak Jokowi, kadernya yang sudah jelas sedang mendapat mandat rakyat, yang sudah jelas sedang mendapatkan kepercayaan rakyat.
Bagi Megawati dan PDIP bukan hanya sekedar dukung-mendukung, bukan sekedar rasa empatik dan simpatik kepada seseorang, bukan sekedar balas budi kepada orang per orang, akan tetapi Megawati lebih memilih berada di tengah-tengah rakyat di tengah-tengah wong cilik, mereka lebih fasih menggunakan bahasa hati, lebih terbiasa menggunakan isyarat suara hati nurani, isyarat spiritual ketimbang alasan logika.
Alasan-alasan yang pada akhir menyesatkan, karena sesungguhnya manusia gudangnya kesesatan dan salah. Bahasa wong cilik dan bahasa rakyat adalah bahasa kebenaran, bahasa yang lahir dari sumber kebenaran. Bahasa yang dapat menerjemahkan makna nawacita dengan jernih, bahasa yang dapat menerjemahkan pemaknaan marhaen yang selalu hidup dalam jiwa setiap manusia, lebih spesifik manusia Indonesia yang berjuang untuk melaksanakan nawacita.
Namun bagaimana nawacita akan dilaksanakan jika kapolrinya terindikasi melakukan korupsi. Bukankah akan sia-sia karena bertentangan dengan nawacita keempat reformasi sistem pengakan hukum yang bebas korupsi. Demikian Jokowidodo berdiskusi bersama Megawati, kedua pemimpin negeri saling memahami.
Setelah jelas Jokowi dengan pertimbangan hukum, politis dan petimbangan etika moral tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Presiden Jokowidodo dipersilakan memilih seseorang yang dianggap tepat sebagai kapolri. Lagi-lagi beliau dihadapkan pada persoalan yang tidak mudah. Memilih orang menjadi kapolri tentu sulit, terutama pertimbangan seorang pemimpin harus dekat dengan rakyat berhubungan baik dengan rakyat, tidak meminta Jabatan, adil, tidak menerima hadiah (gratisfikasi), tegas, dan lemah lembut.
Pemimpin dengan kriteria tersebut sulit ditemukan dalam lingkungan masyarakat borjuis, masyarakat yang bergelimang dengan harta materi yang berwarna abu-abu. Apakah Jokowidodo lebih memilih berada di lingkungan para borjuis atau Jokowi akan memilih hidup di lingkungan rakyat atau wong cilik para marhaen yang sedang berjuang agar nawacita dapat mewarnai dengan terang-benderang bumi nusantara.
Atau lebih memilih para borjuis atau kroninya yang kini bersorak gembira menikmati hasil jarahan uang rakyat, apakah mereka memang masih perlu dibela dan dipilih sebagai kapolri? Jokowi lebih baik memilih si Suta, Si Naya, yang jelas memiliki komitmen yang memiliki integritas, yang shidiq, amanah, tabligh, fathanah, tidak sedikit pun setitik darah yang mengalir pada dirinya ternodai dengan makanan hasil korupsi. Namun apa pun alasannya Jokowi harus memilih cakapolri dari lembaga POLRI itu sendiri. Akan tetapi apakah masih ada di lembaga sebesar Polri? Lembaga yang dipenuhi dengan para jenderal berekening gendut?
Lagi-lagi Presiden Jokowidodo, kali ini perlu mempertimbangkan saran dari Prof Safi’i Ma’arif. Pak Kiai menyarankan kepada Presiden Jokowidodo agar dalam memilih cakapolri diambil dari jenderal yang paling sedikit dosanya. Caranya adalah cari rekam jejak para jenderal yang paling sedikit terindikasi melakukan perbuatan korupsi, pencucian uang, dan perbuatan tercela lainnya.
Libatkan lembaga-lembaga seperti KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, termasuk lembaga resmi seperti Watimpres. Tidak ketinggalan tentunya Tim 9 yang sudah terbukti kepiawaiannya dalam memberikan masukan berupa saran, pendapat, dan nasihat kepada Presiden Jokowidodo. Presiden juga disarankan agar hati-hati melibatkan politisi-politisi dalam menyaring cakapolri. Para politisi lebih berpihak kepada kepentingan partai daripada untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara.
Dalam akhir tulisan ini, saya coba tuliskan kiranya tidak terlalu berlebihan bila Komjen Suhardi Alius menjadi Pertimbangan Bapak Presiden Jokowidodo.
Salam Kompasiana
http://www.tempo.co/read/news/2015/02/04/063639783/Ketua-Tim-9-Jokowi-Budi-Gunawan-Tak-Bakal-Dilantikhttp://medanseru.co/berita/politik/947/Komjen-BG-Disebut-Batal-Dilantik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H