Mohon tunggu...
Imam Kodri
Imam Kodri Mohon Tunggu... - -

Formal Education Background in UPDM (B) Of Bachelor’s Degree of Politics and Social Science, majoring of Public Administration and Master Degree, Majoring of Human Resources. Worked in various private companies over 30 years, such as: PT. Pan Brothers Textile as HRD Assistant Manager, PT. Sumber Makmur as HRD Manager, General Personnel Manager at PT. Bangun Perkarsa Adhitamasentra, Senior Manager of HRD and General affair at PT. Indoraya Giriperkarsa, Headmaster of Kelapa Dua High School, and the last, Head of the General Bureau and Human Resources at ISTN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bhinneka Tunggal Ika

28 Oktober 2014   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:23 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua, berasal dari kitab kakawin Sutasoma, karya besar bidang sastra yang layak mendapat penghargaan tertinggi. Karya besar dari seorang Empu Tantular yang hidup pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di abad ke 14. Kakawin ini menjadikan semacam ilham oleh para pendiri bangsa, sehingga dijadikan semboyan bagi bangsa Indonesia untuk memaknai dan memegang teguh Bhineka Tunggal Ika, menyatukan menjadi satu kesatuan yang utuh seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merouke, yang berasal dari berbeda-beda suku bangsa, berbeda-beda agama, berbeda-beda bahasa, berbeda-beda tanah asal kelahiran. Kakawin Sutasoma yang berbahasa jawa kuno dari pupuh 139 bait 5 yang dapat diartikan selengkapnya seperti dibawah ini:

Pupuh 139 bait 5 , bahasa Jawa kuno:

-Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma, -Binneki rakwa ring apan kena parwanosen, -Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, -Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,

Pada baris pertama “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma,mengandung arti bahwa hakekat kehidupan dalam wujud Buddha dan penguasa alam Sang Maha dewa Shiwa adalah dua zdat yang berbeda, yang akhirnya manunggal menjadi satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan baik dalam wujud zdatnya. Pada baris kedua “Binneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?, sedang baris ketiga Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, dapat diartikan bahwa sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Shiwa adalah manunggal.Pada baris keempat “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal, berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran (dharma) yang mendua.

Penjelasan dalam pupuh tersebut, bahwa di masa kejayaan Majapahit ada penyatuan pemahaman dan kepercayaan dalam pengamalannya yang semula berasal dari perbedaan pada dua agama besar pada saat itu yaitu agama Buddha dan agama Shiwa. Penyatuan dua agama besar menjadi agama kerajaan Majapahit, dan memberikan makna yang meluas kepada makna kehidupan bermasyarakat.(Lihat situs Wikipedia di Internet).

Diceriterakan bahwa Sutasoma yang bergelar Mahajina, adalah putra mahkota kerajaan Hastina, putra Raja Mahaketu dan Dewi Prajnyadhari. Sutasoma adalah titisan Sang Buddha yang dalam kelahirannya membawa berkah bagi kerajaan Hastina dan seisinya. Dalam masa remajanya Sutasoma banyak dihabiskan waktunya untuk bertapa. Banyak meninggalkan keni’matan kehidupan duniawi, tidak berambisi menjadi raja. Jiwanya telah terpatri hanya untuk zdat yang maha hidup, setiap langkah dan perbuatannya selalu menunjukan kemuliaan jiwanya.

Sahdan, dunia pada saat itu tengah dikuasai oleh raja kejahatan, kekacauan yang diperbuat oleh raksasa sakti Porusada, disebut juga Raja Ratnakanda, seorang raksasa sangat sakti, yang mempunyai kegemaran memakan daging manusia. Para Brahmana, dan ahli nujum meramalkan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Raja Ratnakanda, adalah Sang Sutasoma sendiri, karena ia adalah merupakan titisan Sang Buddha.

Para brahmana dan para raja meminta dengan sangat, agar Sutasoma berkenan keluar dari pertapaannnya untuk membunuh raja raksasa Ratnakanda. Mendengar akan permintaan para Brahmana dan para raja, akhirnya Sutasoma ditemani oleh resi Kesawa mendatangi raksasa Ratna kanda di puncak gunung Semeru (MahaMeru). Selama dalam perjalanannya menuju puncak Maha Meru, Sutasoma dan Resi Kesawa mengalami banyak cobaan, diantaranya mendapat gangguan mahluk gaib berupa seekor Gajah bernama Gajawaktra yang dapat menghilang memasuki perut bumi. Gajawaktra dapat dikalahkan, dan meminta pertobatan akan berbuat kebajikan membantu Sutasoma untuk mengabdi kepada kebaikan. Cobaan juga datang dari seekor ular Nagaraja, Raja Harimau, mereka semua bertobat akan mengikuti ajaran Sotasoma.

Cobaan terus mendatangi Sang Sutasoma tidak berupa godaan lahir atau godaan dengan kekuatan fisik, kali ini godaan yang tingkatannya lebih tinggi, menguji kekuatan jiwa sang Sutasoma. Godaan berupa para dewiwanita cantik dari kahyangan suralaya, para bidadari yang sengaja merayu untuk membangkitkan nafsu birahi sang Sutasoma.

Namun, Sutasoma tetap teguh. Ia tidak tertarik sama sekali dengan godaan-godaan yang di lancarkan perempuan cantik utusan para dewa. Atas keteguhan Sutasoma dalam menjalankan darma berupa laku tapa bratanya yang demikian kuat, Sehingga pada akhirnya Sang Maha Dewa menganugerahi kesaktian sejati kepada Sutasoma, yaitu berupa senjata Bajra, apa yang disentuhnya akan kembali menjadi asal mula kejadian.

Sehingga ia dapat mengembalikan Porusada wujud kejahatan lahiriah yang dimiliki oleh Batara Kala, Porusada dan Batara Kala takluk serta melakukan pertobatan kepada Sotasoma.

Sang Sutasoma menyuruh Batara Kala dan Raja Ratnakanda/Porusada dan para raksasa –rasasa yang lain untuk melakukan tapabrata, bertobat kepada Hyang Maha Dewa penguasa jagad raya. Batara Kala dan Porusada beserta para pengikutnya melakukan tapabrata. Batara Kala akhirnya berwujud kembali sebagai Hyang Pasupati.

Raja Ratnakanda/Porusada memilih jalan hidupnya menjadi pengawal Sutasoma untuk memahami Buddha di Jinalaya dan berwujud seorang brahmana.

Demikian kisah yang diceritakan pada Kitab Sutasoma. Pada bagian akhir dari kitab kakawin Sutasoma tertulis,

-Nahan tantyanikang kathaticaya Boddhacarita ng iniket,-De sang kawy aparab mpu tantular amarn. A kakawin alango’-Khyating rat Purus.adacanta pangaranya katuturakena,-Dirghayuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa,

Kalimat yang bermakna agung “ Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa” yang tertulis karya mpu Tantular semula ditujukan untuk menyatukan agama Buddha dengan agama Hindu Shiwa, kini pemaknaannya diperluas oleh para pendiri Bangsa Indonesia, menjadi “Bhineka Tunggal Ika”Inilah akhir dari sebuah karya sastra agung yang ditulis oleh pujangga Jawa terkenal Mpu Tantular yang hidup di masa Kejayaan Majapahit.

Kitab ini pada dasarnya memberi ajaran tentang toleransi hidup antara umat beragama, untuk saling hormat menghormati, saling menjunjung tinggi hak menganut aliran dan kepercayaan masing-masing tanpa adanya tekanan dari manapun juga. “Bhineka Tunggal Ika “ Biarpun berbeda, kita tetap satu, Bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun