Politikus Partai Golkar, Nurul Arifin berpendapat, tidak jadi masalah jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipimpin purnawirawan TNI."Selama tidak ada aturan, yang sudah tidak aktif menjadi pejabat TNI boleh saja memimpin KPK agar lebih tegas," kata Nurul Arifin ketika menghadiri acara diskusi politik di Kebayoran Baru, Jakarta, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA.
Saya sependapat dengan politisi Golkar yang mewacanakan KPK sebaiknya dipimpin oleh para punawiran TNI, pangkat terakhir serendah-rendahnya Mayor Jenderal. Tujuannya adalah untuk memberikan kewibawaan dan keberanian yang berimbang terhadap Polri untuk menghadapi perilaku jahil jenderal polisi terutama dari Kabareskrim yang selalu menjadi biang kerok pelemahan KPK.
Disamping itu TNI dipandang lebih tegas dalam memberikan perlindungan kepada KPK dalam menghadapi Polri bila terjadi kisruh KPK-Polri, dan tidak begitu saja Polri akan berbuat sewenang-wenang terhadap para pimpinan KPK yang mantan jenderal TNI itu.
Setidaknya rasa segan akan muncul dibenaknya para penyidik dari Bareskrim jika akan melakukan tindakan agresif penangkapan seperti yang dilakukan terhadap pimpinan Ketua non aktif Bambang Widjojanto. Kita ketahui pelemahan kepada KPK dari dulu selalu datangnya dari Polri.
Masyarakat luas telah mengetahui bahwa kedua lembaga ini KPK dan Polri, keduanya merupakan lembaga yang bertugas untuk menegakan hukum diantaranya pemberantasan korupsi. Namun anehnya Bareskrim Polri dengan KPK selalu menunjukan gaya permusuhannya ini dapat dilihat dari sejak awal berdirinya KPK. Cara-cara untuk melemahkan KPK dari dulu sudah sangat nampak.
Sejak awal berdirinya hingga sekarang KPK tidak pernah luput dari usaha-usaha kriminalisasi atau pelemahanm oleh Polri. Misalnya saja pada peristiwa konflik KPK Polri jilid 1 atau perseteruan “cicak vs buaya” berawal dari tindakan penyidikan dan penyadapan KPK terhadap Kabareskrim Polri Susno Duadji yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century.
Dalam kasus yang berlarut-larut ini akhirnya Presiden SBY terpaksa harus campur tangan untuk menyelesaikannya dengan membentuk tim independen tim pencari fakta yang diketuai oleh Adnan Buyung Basution. Adnan Buyung menyarankan kepada SBY agar menggunakan hak abolisinya.
Pada akhirnya kasus Bibit – Chandra dapat dihentikan dengan menerbitkan SP3 untuk tidak dilanjutkan. Tidak berhenti disitu saja ternyata Polri masih terus berusaha untuk melemahkan KPK di 2012 apa yang dikenal dengan Cicak vs Buaya Jilid 2.
lagi-lagi SBY menjadi wasit untuk menyelesaikan perseteruan Polri - KPK yang mentersangkakan Irjen Djoko Susilo melakukan tindakan korupsi proyek Simulator SIM. Pada peristiwa ini terjadi kisruh kelembagaan antara Polri dengan KPK, namun pada akhirnya kisruh ini dapat dipadamkan oleh SBY. Pada Proses selanjutnya Djoko Susilo terbukti bersalah, sampai di tingkat Kasasi Mahkamah Agung, dengan dihukum penjara selama 18 tahun.
Kini Presidennya Jokowidodo berada dalam masa konflik KPK Polri jilid III, konflik KPK Polri kali ini lebih bergemuruh, lebih dahsyat dibandingkan dengan konfllik yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Konflik ini sudah berhasil menenggelamkan KPK sehingga praktis KPK sulit untuk dapat muncul kembali.
Presidenpun sampai saat sekarang belum mengambil tindakan konkrit langkah-langkah apa yang seharunya dikeluarkan oleh Jokowi. Namun yang membuat para Plt pimpinan KPK bingung, ternyata Presiden Jokowi ada keberpihakan berada di kubu Polri, bersama-sama mereka melawan KPK.