Mohon tunggu...
imam hasan
imam hasan Mohon Tunggu... -

Menulis dengan menyatukan hati dan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Bodoh tidak Mengapa, Asalkan Good Character

2 Februari 2016   11:35 Diperbarui: 2 Februari 2016   11:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

menyoroti kualitas pendidikan yang ada di Indoensia mungkin tidak ada habisnya, dari perubahan kurikulum, UN yang bermasalah sampai tindakan bullying yang dilakukan oleh pelajar. namun tidak serta merta kita harus pesimis tanpa melihat jalan keluar yang harus diberikan. mengubah pola pikir dari berorientasi pada besarnya nilai akademik yang dituju menjadi besarnya nilai karakter yang terbentuk.

"koen goblok gak popo" (red. kamu bodoh gak papa) kata Ir. Sudarusman (Kepala sekolah SMP M 2 Surabaya). mungkin sekarang istilah yang tepat untuk merubah pola pikir anak menjadi jernih kembali, mengapa demikian?

jika kita melihat realitas yang ada dilapangan, para pelaku pendidikan baik dari jajaran tinggi sampai murid pun berfikir bahwa sekolah harus pintar, mendapat nilai UN yang tinggi, dan berprestasi dalam bidang akademik.

"revolusi mental, kata pak Jokowi" memang sudahlah tepat diterapkan, mengapa? sekarang tingkat korupsi di Indoensia semakin hari semakin tinggi dan merajalela bak tumbuhannya gangang ketika musim penghujan. mereka para oknum yang melakukan tindakan seperti itu apakah mereka orang bodoh? saya rasa tidak!!!, lulusan S1,S2,S3 sampai gelar profesor pun masuk pada rumah prodeo.

lalu bagaimana yang harus dilakukan?

kembali kepada pemikiran awal, "koen goblok gak popo". jika kita mendalami filosofi tersebut mengarahkan kepada perubahan paradigma untuk membentuk sekolah kepada kepribadian dan mengarahkan anak pada optimalisasi pertumbuhan psikologi anak.

Dulu sebelum Indoesia melakukan revousi, bapak ky hajar dewantoro sudah menerapkan filosofi tersebut, membentuk sekolah menjadi taman bermain. pemikiran tersebut dilandasi bahwa anak hakikatnya dilahirkan sebenarnya untuk bermain, sebab melalui bermain, anak akan memperoleh banyak kecerdasan sosial: tolong menolong, saling menghargai, jujur, dan lainnya.

namum pemikiran tersebut malah justru menjadi barang usang di rumahnya sendiri, dan menjadi konsumsi eksekutif di negara Finlandia, banyak buku - buku beliau yang diadopsi di sana.

kita ingat, bahwa Finlandia merupakan negara dengan tingkat pedidikan terbaik di dunia. lalu apa yang harus dilalukan bangsa ini? sekarang tugas sekolah, guru dan seluruh pemangku kepentingan mengembalikan filosifi tersebut. bermain dan taman harus menjadi sasaran disekolah, membuat anak betah disekolah bukan membuat penjara didalam sekolah.

lingkungan dan pembelajaran disetting sedemikian rupa mengarah kepada filosofi tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun