Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disleksia : Ketika Pendidikan bisa Membantu atau Melukai

31 Januari 2025   11:22 Diperbarui: 29 Januari 2025   16:32 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disleksia dan Harga Diri : Ketika Pendidikan Bisa Membantu atau Melukai

Aku ingat hari-hari ketika sekolah terasa seperti medan perang. Aku bukan anak bodoh, tapi setiap huruf yang kutemui di buku seakan menari-nari di depan mataku, berubah bentuk, bersembunyi, menghilang. Aku, seorang anak dengan disleksia dan ADHD, menghadapi dunia yang tidak memahami apa yang terjadi dalam pikiranku.

Pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak bisa berkembang, tapi bagi banyak dari kami yang memiliki disleksia, sekolah justru menjadi tempat pertama yang meruntuhkan harga diri. Saat teman-teman bisa dengan mudah membaca satu halaman buku cerita, aku masih bergelut dengan satu kalimat pertama. Saat mereka bisa menyalin catatan dengan rapi, aku bahkan kesulitan memahami apa yang tertulis di papan tulis.

Setiap kesalahan yang aku buat diperhatikan. Setiap huruf yang tertukar, setiap angka yang salah hitung, menjadi bukti bagi guru dan teman-teman bahwa aku 'berbeda'. Mereka tidak melihat perjuanganku, hanya hasil akhirnya yang tidak sempurna. Nilai merah, teguran, tawa kecil dari teman sebangku semuanya perlahan membentuk keyakinan dalam diriku: aku tidak cukup baik.

Menurut psikolog Dr. Sally Shaywitz, disleksia bukanlah tanda kurangnya kecerdasan, melainkan perbedaan cara otak memproses bahasa. Dalam bukunya, Overcoming Dyslexia, ia menjelaskan bahwa individu dengan disleksia memiliki struktur otak yang berbeda dalam memproses kata-kata tertulis, sehingga mereka memerlukan pendekatan belajar yang lebih fleksibel dan tidak konvensional.

Namun, di antara banyak guru yang hanya melihatku sebagai anak yang 'malas' atau 'tidak fokus', ada satu guru yang berbeda. Ia melihatku sebagai seorang anak yang berusaha keras dalam dunia yang tidak dirancang untukku. Alih-alih memarahiku karena tulisan tanganku yang berantakan, ia memberiku kesempatan untuk menjelaskan pemikiranku secara lisan. Ia tidak menertawakan ketika aku membaca dengan terbata-bata, tetapi dengan sabar membimbingku hingga aku mengerti.

Dukungan seperti ini bukan hanya membuat belajar menjadi lebih mudah, tetapi juga menyelamatkan harga diriku yang hampir hancur. Seperti yang terjadi di banyak tempat di dunia, ketika anak-anak dengan disleksia mendapatkan lingkungan belajar yang memahami kebutuhan mereka, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Dr. Gavin Reid, seorang ahli disleksia, menekankan bahwa pendidikan yang berbasis kekuatan dan strategi yang sesuai dapat meningkatkan harga diri anak-anak dengan disleksia dan membantu mereka mengembangkan potensi akademik maupun sosial mereka.

Sekarang, aku berada di sisi lain. Aku adalah seorang pendidik dan aktivis yang berusaha memberikan pemahaman kepada guru-guru bahwa disleksia bukanlah akhir dari segalanya. Aku ingin membangun ruang yang aman bagi anak-anak seperti aku dulu tempat di mana mereka bisa belajar tanpa takut dihakimi, tempat di mana harga diri mereka tidak diruntuhkan oleh sistem yang tidak memahami mereka.

Pendidikan memiliki dua sisi : ia bisa menjadi alat untuk membangun harga diri, atau justru menghancurkannya. Sebagai guru, orang tua, dan masyarakat, kita memiliki pilihan: apakah kita ingin menjadi bagian dari sistem yang membuat anak-anak merasa tidak cukup baik, atau kita ingin menjadi orang-orang yang membantu mereka menemukan potensi terbaik mereka?

"Setiap anak adalah unik, bukan salah mereka jika dunia tidak didesain untuk cara mereka belajar. Tetapi adalah tanggung jawab kita untuk menjadikan dunia ini tempat yang bisa menerima mereka apa adanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun