Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Diskalkulia, Saudara kembar Disleksia

26 Januari 2025   09:48 Diperbarui: 25 Januari 2025   11:46 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskalkulia, Saudara Kembar Disleksia dalam Dunia Matematika

Bagi banyak siswa, matematika sering menjadi mata pelajaran yang menakutkan. Rasa cemas terhadap angka, tekanan ujian, atau bahkan pengalaman buruk dengan seorang guru di masa lalu dapat meninggalkan trauma tersendiri. Namun, bagi sebagian orang, kesulitan itu melampaui kecemasan biasa; mereka memiliki gangguan belajar yang disebut dyscalculia, yang sering dianggap sebagai saudara kembar disleksia, tetapi dalam konteks matematika.

Sebagai seseorang yang hidup dengan disleksia dan ADHD, saya mengenal baik tantangan belajar yang tidak kasat mata. Namun, apa yang jarang disadari banyak orang adalah bagaimana dyscalculia menambah lapisan kesulitan yang berbeda, terutama dalam pelajaran matematika. Saya tidak menyadari keberadaan gangguan ini hingga masa SMA, meskipun gejalanya sudah jelas sejak saya masih kecil.

Gejala dyscalculia meliputi kesulitan dalam menghitung uang, membaca jam analog, memperkirakan waktu, memahami aritmatika dasar, pembagian panjang, pecahan, dan soal cerita. Bahkan, konsep sederhana seperti mengukur nilai atau menghubungkan bahasa dengan konsep matematika menjadi tantangan besar. Berdasarkan DSM-5, dyscalculia baru secara resmi diakui sebagai gangguan belajar pada tahun 2013, meskipun banyak orang masih belum menyadari keberadaannya hingga kini.

Saya teringat masa kecil ketika angka-angka di papan tulis terasa seperti simbol tak bermakna. Saat teman-teman saya tampak dengan mudah menjumlahkan, mengurangi, atau mengalikan, saya malah terjebak dalam kebingungan. Saya mencoba memahami instruksi guru, tetapi hasilnya selalu sama: saya duduk terpaku dengan wajah kosong, merasa gagal. Pada satu momen, ibu saya mencoba membantu saya belajar. Dia dengan sabar menjelaskan berulang kali, tetapi saya tetap tidak mengerti. Akhirnya, rasa frustrasi menyelimuti kami berdua.

Saat memasuki dunia perkuliahan, saya berpikir bahwa usaha keras akan menjadi solusi. Namun, kenyataannya, semakin keras saya mencoba, semakin besar rasa frustrasi yang saya rasakan. Semester pertama di perguruan tinggi adalah mimpi buruk. Saya mencoba belajar siang dan malam, tetapi yang saya dapatkan hanyalah sakit kepala dan rasa tidak berdaya.

Namun, seiring waktu, saya mulai menerima bahwa perjuangan ini bukan soal kemalasan atau kurang usaha. Saya belajar untuk menerima bahwa otak saya bekerja dengan cara yang berbeda. Saya tidak bisa memaksa diri untuk menjadi "normal" menurut standar yang ditentukan oleh sistem pendidikan. Sebaliknya, saya mulai mencari cara untuk mengubah kelemahan saya menjadi kekuatan. Saya menggunakan alat bantu visual, aplikasi pembelajaran, dan bahkan meminta bantuan teman-teman untuk menjelaskan konsep dengan cara yang lebih sederhana.

Pengalaman sebagai seseorang dengan dyscalculia, disleksia, dan ADHD telah mengajarkan saya bahwa keberhasilan tidak selalu diukur dengan angka atau nilai. Kadang, keberhasilan adalah tentang menemukan cara untuk tetap maju meskipun menghadapi tantangan yang tampak tak teratasi. Melalui perjuangan ini, saya ingin memberi tahu orang lain yang mungkin mengalami hal serupa: Anda tidak sendiri, dan perjuangan Anda sangat berarti.

"Kelebihan sejati terletak pada keberanian untuk terus mencoba, bahkan ketika dunia terlihat seperti teka-teki yang tak terpecahkan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun