ADHD, Disleksia, dan Seni Fokus di Era Digital
Ketika kecil, saya terobsesi dengan novel fantasi yang bercerita tentang sebuah planet yang memiliki dua dunia berbeda: satu dunia berisi android humanoid dan oksigen yang mahal, dan dunia lainnya penuh dengan keajaiban tanaman magis, peri, dan unicorn. Saya senang mengikuti perjalanan tokoh utamanya yang terus melompat dari satu dunia ke dunia lainnya, menghadapi tantangan di setiap perpindahan.
Saya baru menyadari, bertahun-tahun kemudian, bahwa cerita itu adalah cerminan kehidupan saya sendiri. Dua dunia itu adalah metafora sempurna untuk kondisi saya sebagai seseorang dengan ADHD dan disleksia---dua hal yang selalu bersaing untuk merebut perhatian saya.
Bagaimana mungkin saya menikmati dunia peri yang penuh ketenangan jika "android" di kepala saya terus berteriak tentang tagihan oksigen yang belum dibayar?
Analogi ini mungkin terdengar aneh, tapi begitulah saya hidup. Setiap hari, pikiran saya berjuang untuk fokus. Dunia digital dan tuntutan hidup modern membuat segalanya semakin rumit. Perhatian kita kini menjadi komoditas yang paling mahal.
Ketika saya masih kecil, dunia terasa jauh lebih sederhana. Tetapi dengan hadirnya teknologi, perhatian kita tidak lagi milik kita sendiri. Notifikasi, media sosial, dan algoritma dirancang untuk menarik perhatian kita setiap detik.
Sebagai seseorang dengan ADHD, perhatian saya adalah sumber daya yang sangat terbatas. Ada hari-hari di mana saya merasa seperti sedang memikul dunia, hanya karena saya tidak bisa mengarahkan fokus pada satu hal saja. Bahkan membaca paragraf sederhana bisa menjadi perjuangan besar.
Bayangkan, Anda bangun dengan 100 unit energi perhatian setiap hari. Lalu, 10 unit dihabiskan untuk notifikasi ponsel, 20 unit untuk media sosial, 15 unit untuk membalas pesan, dan sisanya tersedot ke hal-hal yang tidak terlalu penting. Di akhir hari, Anda merasa lelah, tapi entah kenapa tidak tahu ke mana semua energi itu hilang.
ADHD mengajarkan saya satu hal penting: perhatian adalah kekuatan, tetapi juga tanggung jawab. Kita harus sadar pada apa yang kita fokuskan.
Misalnya, pernahkah Anda mengambil ponsel untuk mencari sesuatu, tetapi akhirnya malah tersesat dalam scroll tanpa akhir di Instagram? Tiba-tiba, Anda lupa alasan awal Anda memegang ponsel. Itulah jebakan terbesar dunia digital.
Sebagai seorang dengan disleksia, saya juga menghadapi tantangan berbeda. Teks yang terlihat 'menari-nari' di depan mata saya sering membuat frustrasi. Namun, saya menyadari bahwa mengatasi disleksia juga membutuhkan perhatian yang terfokus. Saya harus melatih diri untuk mengendalikan pikiran, bukan membiarkan teknologi mengendalikannya.
Hidup dengan ADHD dan disleksia mengajarkan saya pentingnya menetapkan prioritas. Saya mulai bertanya pada diri sendiri:
- Apakah ini benar-benar penting untuk saya?
- Apakah ini akan membantu saya mencapai tujuan?
- Apakah saya sedang menggunakan perhatian saya untuk hal-hal yang memberi energi atau justru mengurasnya?
Mengambil kendali atas perhatian bukanlah hal yang mudah. Terkadang, saya masih terjebak dalam spiral notifikasi atau scrolling tanpa tujuan. Tetapi, langkah kecil seperti menonaktifkan notifikasi atau menetapkan waktu khusus untuk media sosial sangat membantu saya untuk tetap waras di dunia yang penuh distraksi.
Hidup dengan ADHD dan disleksia mungkin terasa seperti perjalanan di dua dunia yang bertentangan. Namun, saya percaya, jika kita bisa belajar untuk menyadari ke mana perhatian kita diarahkan, kita bisa menciptakan harmoni di antara dua dunia tersebut.
"Perhatian adalah bentuk kasih sayang paling murni. Apa yang kamu perhatikan, itulah yang kamu rawat." Imam Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H