Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disleksia, Diskalkulia, dan Sekolah yang Menutup Telinga

16 Januari 2025   16:46 Diperbarui: 16 Januari 2025   08:47 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disleksia, Diskalkulia, dan Sekolah yang Menutup Telinga
Mengapa Sistem Pendidikan Harus Mendengar, Bukan Mengabaikan

Ketika saya membaca cerita tentang orang tua yang berjuang agar anak mereka didengar oleh sekolah, hati saya terhimpit. Ini bukan kisah asing. Sebagai seseorang yang hidup dengan disleksia dan ADHD, saya tahu betul bagaimana rasanya diabaikan oleh sistem pendidikan yang seharusnya mendukung kita. Saya mengenal rasa lelah yang tak terlihat berusaha dua kali lebih keras hanya untuk mencapai hasil yang sama dengan anak-anak lain, dan tetap merasa tidak cukup baik.

Di sekolah, saya sering mendengar kalimat seperti, "Dia tidak terlalu buruk, masih ada yang lebih parah." Seolah-olah kebutuhan saya diukur berdasarkan perbandingan dengan anak lain, bukan berdasarkan apa yang benar-benar saya butuhkan. Kalimat itu menyakitkan. Bukan hanya karena mengabaikan perjuangan saya, tetapi juga karena memperkuat anggapan bahwa mereka yang "tidak terburuk" tidak perlu bantuan.

Sebagai seorang disleksia yang kemudian menjadi pendidik, saya melihat betapa sistem ini sering kali tidak peka terhadap kebutuhan anak-anak dengan tantangan belajar seperti disleksia atau diskalkulia. Saya mengenal banyak anak yang menciptakan mekanisme bertahan hidup luar biasa hanya untuk bertahan di sistem yang tidak ramah bagi mereka.

Saat sekolah, saya pernah mencoba menyampaikan perasaan saya kepada guru. Dengan kata-kata terbata-bata dan tulisan penuh coretan, saya mencoba menjelaskan kesulitan saya. Namun, jawaban yang saya terima hampir selalu sama: "Cobalah lebih keras." Kata-kata itu menghantui saya. Saya merasa tidak hanya gagal, tetapi juga tak terlihat.

Menurut Shaywitz (2003), disleksia adalah gangguan neurologis yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam mengenali kata-kata secara akurat dan cepat. Sementara itu, diskalkulia, sebagaimana dijelaskan oleh Butterworth, Varma, & Laurillard (2011), adalah gangguan yang menghambat kemampuan memahami konsep matematika, pola, dan logika angka. Keduanya tidak hanya memengaruhi akademik, tetapi juga kehidupan sehari-hari.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia dan diskalkulia sering kali memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata (Elliott & Grigorenko, 2014). Namun, tanpa dukungan yang memadai, mereka mengalami frustrasi, kecemasan, dan merasa tertinggal. Yang sering tidak disadari adalah bagaimana mereka mengembangkan mekanisme bertahan hidup yang luar biasa menghabiskan energi dua kali lipat hanya untuk mencapai hasil yang sama dengan anak-anak lain. Ibaratnya, mereka mengayuh sepeda dengan gigi yang salah, kaki terus bergerak cepat, tetapi sepeda tetap melaju lambat.

Cerita anak dengan diskalkulia itu menggambarkan betapa minimnya pemahaman tentang tantangan ini di sekolah-sekolah kita. Sama seperti disleksia memengaruhi cara saya memahami kata, diskalkulia memengaruhi cara anak-anak memahami angka dan ruang. Namun, karena minimnya kesadaran, banyak anak seperti dia yang diabaikan dianggap "cukup baik" tetapi tidak pernah benar-benar didukung.

Sistem pendidikan sering kali hanya fokus pada mereka yang dianggap "terbaik" atau "terburuk," sehingga anak-anak yang berada di tengah terlupakan. Hal ini mencerminkan kebijakan pendidikan yang tidak inklusif, di mana sumber daya tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan individu, tetapi untuk mengejar standar yang seragam. Padahal, setiap anak itu unik, dengan potensi dan kebutuhan yang berbeda.

Melihat pengalaman ini, saya merasa bahwa kita, sebagai pendidik, orang tua, dan anggota masyarakat, perlu berubah. Kita harus berhenti membandingkan anak-anak berdasarkan kriteria "terbaik" atau "terburuk." Sebaliknya, kita harus bertanya: Apa yang dibutuhkan anak ini untuk berhasil?

Saya tidak bisa menghapus masa lalu saya, tetapi saya bisa memastikan bahwa anak-anak di masa depan tidak perlu merasa tidak terlihat seperti saya dulu. Untuk setiap guru, orang tua, atau pengambil kebijakan yang membaca ini: Dengarkan anak-anak kita. Jangan abaikan perjuangan mereka hanya karena mereka tidak "terburuk." Sebab, mendengar adalah langkah pertama untuk memahami, dan memahami adalah langkah pertama untuk mendukung.

"Bukan karena mereka tidak berteriak, kita tidak mendengar mereka. Kadang, kita hanya perlu belajar mendengar suara yang tidak terucap." --- Imam Setiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun