Memecahkan Kode Disleksia: Jalan Lain Menuju Kesuksesan
Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya sangat memahami betapa sulitnya menemukan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan kita. Sistem pendidikan sering kali mendikte satu cara belajar yang dianggap cocok untuk semua siswa. Padahal, kenyataannya, setiap anak memiliki cara unik untuk memahami dunia termasuk saya.
Di masa kecil, saya merasa terperangkap dalam kurikulum sekolah yang kaku. Tulisan di papan tulis tampak seperti simbol-simbol yang menari, sementara suara guru menjadi latar belakang yang sulit dipahami. Saya sering dicap "bodoh" atau "malas" oleh guru dan teman-teman karena kesulitan saya dalam membaca dan menulis. Namun, masalahnya bukan pada diri saya, melainkan pada sistem yang tidak mampu melihat kebutuhan belajar saya yang berbeda.
Orang tua saya adalah pahlawan dalam perjalanan saya. Seperti Trisha Dunbar, seorang penulis disleksia dengan ADHD yang belajar di rumah pada usia 14 tahun, saya juga merasakan dampak besar dari dukungan keluarga. Ayah saya, dengan kesabarannya yang luar biasa, membantu saya menemukan cara belajar yang sesuai. Ia tidak memaksa saya untuk belajar seperti anak-anak lainnya, melainkan membimbing saya untuk memahami dunia melalui pengalaman nyata, visualisasi, dan diskusi terbuka.
Salah satu teori yang relevan dengan pengalaman saya adalah teori Multiple Intelligences dari Howard Gardner. Gardner menyatakan bahwa manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan, seperti kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik, dan visual-spasial. Ketika ayah saya menggunakan metode visual dan permainan untuk mengajarkan matematika, ia sebenarnya memanfaatkan kecerdasan visual-spasial saya, yang menjadi kekuatan utama saya dalam belajar.
Saya ingat satu momen ketika kami belajar matematika. Angka-angka di buku tampak seperti musuh yang mustahil saya kalahkan. Namun, ayah saya mengubah pendekatan: dia menggantinya dengan permainan dan cerita yang melibatkan angka. Perlahan, saya mulai memahami konsepnya, meskipun dengan cara yang berbeda dari teman-teman saya. Hal ini menguatkan prinsip yang diajukan oleh Carol Ann Tomlinson dalam Differentiated Instruction, bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan individu setiap siswa.
Pengalaman itu membuat saya sadar bahwa pendidikan bukan hanya soal angka di rapor atau gelar di dinding. Pendidikan adalah tentang memahami diri sendiri dan menemukan cara untuk berkembang, meskipun itu berarti menyimpang dari jalur konvensional.
Teori Zone of Proximal Development (ZPD) dari Lev Vygotsky juga relevan dalam perjalanan saya. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak belajar paling efektif ketika mereka diberikan tantangan yang berada sedikit di atas kemampuan mereka, tetapi masih bisa dicapai dengan dukungan dari orang dewasa atau teman sebaya. Ayah saya memainkan peran sebagai "scaffolding" dalam ZPD saya, membantu saya memahami konsep-konsep sulit dengan pendekatan yang mendukung.
Hari ini, sebagai seorang guru untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, saya melihat banyak siswa yang seperti saya dulu: mereka merasa gagal karena sistem pendidikan menilai mereka dengan standar yang tidak adil. Tugas saya adalah membantu mereka "memecahkan kode" pembelajaran mereka, menemukan cara unik yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam buku Overcoming Dyslexia karya Sally Shaywitz, ia menjelaskan bahwa disleksia bukanlah tanda kurangnya kecerdasan, melainkan cara otak memproses informasi secara berbeda. Shaywitz juga menekankan pentingnya intervensi dini dan strategi belajar yang sesuai untuk membantu anak-anak dengan disleksia meraih potensinya.
Sistem pendidikan memang masih jauh dari ideal. Namun, saya percaya perubahan bisa dimulai dari satu guru, satu orang tua, dan satu anak yang percaya bahwa ada banyak jalan menuju kesuksesan. Jika setiap guru mampu melihat keunikan setiap anak, sistem pendidikan kita akan menjadi lebih inklusif dan adil.
"Setiap anak adalah teka-teki unik yang memerlukan pendekatan berbeda untuk dipecahkan. Kunci dari pendidikan sejati adalah memahami bahwa tidak ada satu kunci yang cocok untuk semua pintu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H