Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perjuangan Disleksia-ADHD dalam Mambangun Rutinitas

12 Januari 2025   09:56 Diperbarui: 12 Januari 2025   11:47 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, saya adalah penggemar berat buku Atomic Habits karya James Clear. Buku itu duduk manis di meja samping tempat tidur saya, menjadi pedoman untuk membangun kebiasaan yang lebih baik. Saya bahkan memiliki habit tracker, tempat saya mencatat kebiasaan harian seperti tidur, olahraga, membaca, dan banyak lagi. Artikel pertama yang saya tulis pun tentang membangun kebiasaan.

Namun kini, saya memandang gaya hidup yang terobsesi pada kebiasaan itu sebagai mimpi buruk. Bukan berarti kebiasaan-kebiasaan ini menghancurkan hidup saya, tetapi dampaknya sering kali lebih buruk daripada yang saya bayangkan.

Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, rutinitas sempurna tampaknya menjadi kunci menuju kehidupan yang lebih teratur. Namun, ada sisi lain dari cerita ini yang jarang dibicarakan.

Masalah 1: "Katak yang Direbus Perlahan"

Tahun lalu, saya mencoba menciptakan "rutinitas pagi sempurna." Saya bangun pukul 6 pagi, menikmati sinar matahari pertama yang masuk ke kamar saya. 

Setelah itu, saya mengayuh sepeda ke taman untuk berolahraga, lalu kembali ke rumah untuk sarapan dan kopi. Rutinitas ini diakhiri dengan menulis hingga siang hari. Setiap langkah terasa seperti roda gigi jam yang bergerak mulus.

Namun, tidak ada yang memberitahu saya bahwa rutinitas ini perlahan menjadi jebakan.

Sebagai seseorang dengan ADHD, saya cenderung kehilangan minat pada sesuatu yang terlalu teratur. Awalnya, saya merasa termotivasi. Tetapi lama-kelamaan, rutinitas yang sama mulai terasa seperti penjara yang membosankan. Dalam pola pikir ADHD, repetisi sering kali menjadi musuh.

Masalah 2: Beban Emosional dari "Ketidaksempurnaan"

Sebagai disleksia, saya sering merasa bahwa dunia menuntut saya untuk menjadi sempurna hanya untuk terlihat "normal." Jadi ketika saya gagal menjalankan rutinitas seperti yang direncanakan, rasa bersalah itu menghantam keras. Pikiran saya dipenuhi dengan suara yang mengatakan, "Kamu malas," atau "Kamu tidak cukup disiplin."

Padahal, tidak semua orang bisa memaksakan dirinya pada sistem yang seragam. Otak saya sibuk sepanjang waktu, sering melompat dari satu ide ke ide lain. Dan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, saya lebih cenderung menyerah daripada mencoba lagi. Rasa bersalah itu, ironisnya, menjadi alasan saya berhenti mencoba sama sekali.

Kini, saya sadar bahwa membangun kebiasaan bukanlah tentang menciptakan sistem yang sempurna, melainkan memahami kebutuhan otak dan hati kita sendiri. Rutinitas yang cocok untuk saya adalah yang fleksibel, yang memberi ruang untuk spontanitas dan kreativitas. Saya belajar menerima kekurangan saya, dan memanfaatkan kekuatan saya sebagai seseorang dengan ADHD dan disleksia.

"Rutinitas sempurna tidak diciptakan untuk semua orang. Kadang, keindahan hidup ditemukan dalam kekacauan dan ketidakteraturan yang kita peluk dengan lapang hati."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun