Diskalkulia: Selalu di Bayang-Bayang Disleksia
Dibandingkan dengan disleksia, diskalkulia seringkali menjadi "anak tiri" dalam dunia pendidikan. Begitu banyak tulisan, penelitian, dan diskusi tentang disleksia, sementara diskalkulia tampak terabaikan, seolah-olah tidak sepenting itu. Sebagai seorang guru dan pribadi dengan disleksia-ADHD, saya merasa terhubung dengan perjuangan anak-anak yang kesulitan memahami angka, karena perjalanan mereka mengingatkan saya pada masa kecil saya sendiri.
Jika disleksia telah menjadi "orang dewasa" dalam pemahaman kita, maka diskalkulia masih seperti bayi yang baru lahir. Data berbicara: untuk setiap satu publikasi tentang diskalkulia, ada empat belas publikasi tentang disleksia. Perbedaan ini mencerminkan betapa kurangnya perhatian yang diberikan kepada kesulitan belajar yang terkait dengan angka ini.
Dalam pengalaman saya, kesulitan dengan angka lebih dari sekadar tidak memahami konsep matematika. Ketika saya kecil, angka tampak seperti simbol asing tanpa arti. Sama seperti huruf-huruf dalam pengalaman saya sebagai disleksia, angka-angka itu menari di halaman, membuat saya merasa tidak cukup pintar dan tidak mampu. Perasaan frustrasi itu terus menghantui saya hingga dewasa. Namun, saya belajar bahwa masalah ini bukan tentang kemampuan, melainkan cara otak memproses informasi.
Sama seperti dalam disleksia, di mana kesadaran fonologis adalah fondasi membaca, dalam diskalkulia, kemampuan untuk memahami simbol angka dan menghubungkannya dengan nilai atau magnitudo yang diwakilinya adalah kunci. Anak-anak yang dapat dengan cepat dan akurat mengenali simbol angka cenderung memiliki keterampilan aritmetika yang lebih baik di masa depan.
Namun, tantangannya jauh lebih besar. Angka itu rumit. Misalnya, angka "5" tidak hanya berarti kumpulan lima benda, tetapi juga bagian dari urutan angka, memiliki nama "lima," berubah nilainya tergantung posisi dalam sistem desimal, dan bisa terlihat berbeda dalam berbagai font atau ukuran.
Bagi anak-anak dengan diskalkulia, menghubungkan simbol angka dengan makna di baliknya sama sulitnya seperti menghubungkan huruf dengan suara untuk anak disleksia. Kesulitan ini bisa membuat matematika menjadi momok, terutama tanpa dukungan yang tepat.
Sebagai seorang guru, saya sering frustrasi melihat kurangnya pemahaman tentang diskalkulia. Masih ada mitos bahwa anak laki-laki lebih unggul dalam matematika dibandingkan anak perempuan, padahal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan gender dalam kemampuan numerik. Hal lain yang mengejutkan saya adalah bagaimana kecemasan matematika dapat menular. Guru atau orang tua yang cemas terhadap matematika sering tanpa sadar menularkan kecemasan itu kepada anak-anak mereka.
Sebaliknya, kombinasi antara pembelajaran konsep dan prosedural sangat penting. Anak-anak membutuhkan struktur untuk mempelajari fakta dasar matematika, tetapi mereka juga perlu diajak memahami konsepnya dengan cara yang visual dan menyenangkan.
Diskalkulia adalah tantangan yang nyata, tetapi bukan akhir dari segalanya. Sama seperti perjalanan saya dalam menghadapi disleksia, saya percaya bahwa setiap anak dengan diskalkulia memiliki potensi untuk berhasil jika diberikan pendekatan yang tepat. Tidak ada anak yang tidak mampu; mereka hanya perlu dipahami dengan cara yang berbeda.
"Kesulitan bukanlah batasan, melainkan jembatan untuk memahami dunia dengan cara yang unik." -- Imam Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H