Hyperlexia: Ketika Anak Mengajarkan Diri Sendiri Membaca Sebelum Usia 3 Tahun
Dalam dunia perkembangan anak, istilah "hyperlexia" sering kali memunculkan rasa kagum sekaligus kebingungan. Norman E. Silberberg dan Margaret C. Silberberg (1967) mendefinisikan hyperlexia sebagai kemampuan membaca yang luar biasa jauh di atas ekspektasi usia anak, biasanya tanpa pelatihan formal. Anak-anak dengan hyperlexia dapat membaca sebelum usia lima tahun, dan sering kali menunjukkan minat intens terhadap huruf dan angka.
Namun, di balik keajaiban ini, terdapat tantangan yang tidak sederhana. Anak-anak hyperlexia sering kali menghadapi perkembangan bahasa yang tidak biasa, seperti membalikkan kata ganti ("Mama, gendong kamu") atau kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Siapa namamu?" atau "Berapa usiamu?" Selain itu, ada perilaku stimulasi diri (stimming) seperti berputar-putar atau menggunakan penglihatan perifer, kecemasan terhadap suara atau lingkungan tertentu, serta kesulitan dalam bermain sosial meskipun mereka ingin bermain dengan anak lain.
Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya memahami kompleksitas otak yang "berbeda." Hyperlexia mengingatkan saya pada perjuangan saya sendiri untuk memahami huruf yang tampak "menari" di halaman. Sementara saya bergumul dengan membaca, anak-anak hyperlexia seperti memiliki kunci untuk membuka kode kata-kata. Namun, tantangan mereka terletak pada memahami dunia di luar kata-kata itu.
Penelitian menunjukkan bahwa hyperlexia sering kali dikaitkan dengan kondisi neurodivergen lainnya, termasuk autisme. Ada tiga jenis hyperlexia yang dikenal:
- Hyperlexia Tipe 1: Anak neurotipikal yang memiliki kemampuan membaca luar biasa tanpa adanya karakteristik neurodivergen lain.
- Hyperlexia Tipe 2: Anak yang memiliki kemampuan membaca luar biasa dan juga memiliki autisme.
- Hyperlexia Tipe 3: Anak yang memiliki kemampuan membaca luar biasa, menunjukkan beberapa ciri autisme, tetapi ciri tersebut memudar sebelum usia enam tahun.
Dalam praktiknya, anak-anak dengan hyperlexia sering kali memerlukan intervensi untuk mengatasi kesenjangan antara kemampuan membaca mereka yang tinggi dan keterampilan sosial, bahasa, atau emosional mereka yang mungkin tertinggal.
Ketika saya kecil, membaca adalah tantangan besar. Huruf-huruf seperti "berperang" di halaman, melompat-lompat tanpa arah, membuat frustrasi dan menyakitkan. Namun, anak-anak hyperlexia menghadapi kebalikannya. Mereka melihat huruf sebagai sahabat, alat untuk memahami dunia. Tetapi, apakah itu cukup?
Saya pernah bertemu seorang anak yang saya sebut "A," yang menunjukkan ciri-ciri hyperlexia. Ia bisa membaca kata-kata rumit di usia tiga tahun, tetapi ketika saya bertanya, "Apa yang kamu baca?" ia hanya menatap saya bingung. Dunia A adalah dunia huruf, tetapi huruf-huruf itu belum terhubung dengan makna yang lebih dalam. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa hyperlexia, seperti disleksia, memerlukan pemahaman dan dukungan holistik.
Melihat anak dengan hyperlexia bermain adalah pengalaman yang luar biasa. Mereka mungkin membuat alfabet dari balok, Playdoh, atau bahkan pipa pembersih, mengabaikan permainan tradisional. Namun, obsesinya terhadap huruf dan angka dapat menghalangi perkembangan keterampilan sosial atau emosional mereka.
Salah satu tantangan terbesar adalah asinkronisasi pembelajaran. Anak-anak hyperlexia dapat membaca buku tebal tetapi mungkin tidak memahami percakapan sederhana. Sebagai orang dewasa yang pernah menghadapi stigma dan salah paham karena disleksia dan ADHD, saya merasa terpanggil untuk membantu anak-anak seperti mereka. Saya percaya, dengan dukungan yang tepat, potensi luar biasa mereka dapat berkembang secara optimal.