Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hyperlexia : Ketika Membaca Sebelum Usia 3 Tahun

24 Desember 2024   08:16 Diperbarui: 24 Desember 2024   04:21 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hyperlexia: Ketika Anak Mengajarkan Diri Sendiri Membaca Sebelum Usia 3 Tahun

Dalam dunia perkembangan anak, istilah "hyperlexia" sering kali memunculkan rasa kagum sekaligus kebingungan. Norman E. Silberberg dan Margaret C. Silberberg (1967) mendefinisikan hyperlexia sebagai kemampuan membaca yang luar biasa jauh di atas ekspektasi usia anak, biasanya tanpa pelatihan formal. Anak-anak dengan hyperlexia dapat membaca sebelum usia lima tahun, dan sering kali menunjukkan minat intens terhadap huruf dan angka.

Namun, di balik keajaiban ini, terdapat tantangan yang tidak sederhana. Anak-anak hyperlexia sering kali menghadapi perkembangan bahasa yang tidak biasa, seperti membalikkan kata ganti ("Mama, gendong kamu") atau kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Siapa namamu?" atau "Berapa usiamu?" Selain itu, ada perilaku stimulasi diri (stimming) seperti berputar-putar atau menggunakan penglihatan perifer, kecemasan terhadap suara atau lingkungan tertentu, serta kesulitan dalam bermain sosial meskipun mereka ingin bermain dengan anak lain.

Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya memahami kompleksitas otak yang "berbeda." Hyperlexia mengingatkan saya pada perjuangan saya sendiri untuk memahami huruf yang tampak "menari" di halaman. Sementara saya bergumul dengan membaca, anak-anak hyperlexia seperti memiliki kunci untuk membuka kode kata-kata. Namun, tantangan mereka terletak pada memahami dunia di luar kata-kata itu.

Penelitian menunjukkan bahwa hyperlexia sering kali dikaitkan dengan kondisi neurodivergen lainnya, termasuk autisme. Ada tiga jenis hyperlexia yang dikenal:

  1. Hyperlexia Tipe 1: Anak neurotipikal yang memiliki kemampuan membaca luar biasa tanpa adanya karakteristik neurodivergen lain.
  2. Hyperlexia Tipe 2: Anak yang memiliki kemampuan membaca luar biasa dan juga memiliki autisme.
  3. Hyperlexia Tipe 3: Anak yang memiliki kemampuan membaca luar biasa, menunjukkan beberapa ciri autisme, tetapi ciri tersebut memudar sebelum usia enam tahun.

Dalam praktiknya, anak-anak dengan hyperlexia sering kali memerlukan intervensi untuk mengatasi kesenjangan antara kemampuan membaca mereka yang tinggi dan keterampilan sosial, bahasa, atau emosional mereka yang mungkin tertinggal.

Ketika saya kecil, membaca adalah tantangan besar. Huruf-huruf seperti "berperang" di halaman, melompat-lompat tanpa arah, membuat frustrasi dan menyakitkan. Namun, anak-anak hyperlexia menghadapi kebalikannya. Mereka melihat huruf sebagai sahabat, alat untuk memahami dunia. Tetapi, apakah itu cukup?

Saya pernah bertemu seorang anak yang saya sebut "A," yang menunjukkan ciri-ciri hyperlexia. Ia bisa membaca kata-kata rumit di usia tiga tahun, tetapi ketika saya bertanya, "Apa yang kamu baca?" ia hanya menatap saya bingung. Dunia A adalah dunia huruf, tetapi huruf-huruf itu belum terhubung dengan makna yang lebih dalam. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa hyperlexia, seperti disleksia, memerlukan pemahaman dan dukungan holistik.

Melihat anak dengan hyperlexia bermain adalah pengalaman yang luar biasa. Mereka mungkin membuat alfabet dari balok, Playdoh, atau bahkan pipa pembersih, mengabaikan permainan tradisional. Namun, obsesinya terhadap huruf dan angka dapat menghalangi perkembangan keterampilan sosial atau emosional mereka.

Salah satu tantangan terbesar adalah asinkronisasi pembelajaran. Anak-anak hyperlexia dapat membaca buku tebal tetapi mungkin tidak memahami percakapan sederhana. Sebagai orang dewasa yang pernah menghadapi stigma dan salah paham karena disleksia dan ADHD, saya merasa terpanggil untuk membantu anak-anak seperti mereka. Saya percaya, dengan dukungan yang tepat, potensi luar biasa mereka dapat berkembang secara optimal.

Bagi orang tua dan guru yang menghadapi hyperlexia, penting untuk memahami bahwa kemampuan membaca yang luar biasa hanyalah satu bagian dari teka-teki. Anak-anak ini memerlukan lingkungan yang mendukung untuk mengembangkan keterampilan sosial, emosional, dan bahasa mereka. Intervensi dini, pemahaman, dan empati adalah kunci.

Sebagai penyandang disleksia, saya belajar bahwa setiap otak adalah unik. Anak-anak dengan hyperlexia mengingatkan kita bahwa cara kita belajar dan memahami dunia tidak selalu linier. Mereka adalah bukti bahwa kecerdasan memiliki banyak wajah, dan kita harus belajar untuk melihat keindahan dalam perbedaan.

Hyperlexia adalah dunia yang kompleks namun menakjubkan. Seperti kata Albert Einstein, "Setiap orang itu jenius. Tapi jika Anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan hidup seumur hidupnya dengan percaya bahwa dirinya bodoh." Mari kita hargai dan dukung anak-anak ini untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.

"Bukan anak yang harus menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi dunia yang harus belajar menerima keunikan setiap anak."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun