Persahabatan adalah cermin jiwa tempat kita bisa menjadi diri sendiri, diterima tanpa topeng, dan saling berbagi beban hidup. Namun, bagi penyandang disleksia dan ADHD, persahabatan sering kali bukanlah pelabuhan yang tenang, melainkan lautan bergelombang yang penuh tantangan.Â
Minggu lalu, salah satu persahabatan baru yang terasa dekat dan penuh harapan hancur begitu saja. Ini bukan kali pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa persahabatan saya mengalami hal yang sama: tiba-tiba runtuh, meninggalkan luka yang dalam.
Ada seorang teman yang selama delapan tahun menjadi bagian penting dalam hidup saya dan anak saya. Kami saling membantu dalam pengasuhan anak, bahkan berbagi momen kebahagiaan melalui sleepover anak-anak kami.Â
Namun, semuanya berubah ketika anak saya, dalam ketidaksadarannya, membuat komentar yang memicu perasaannya. Alih-alih menyelesaikan masalah bersama, dia memilih untuk memutus hubungan. Saya mencoba menjangkau kembali setelah beberapa tahun, tetapi hanya mendapat respons dingin, seolah-olah saya hanyalah orang asing.
Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, ada momen-momen ketika "diri yang sebenarnya" muncul, membawa serta kerentanan yang sulit dijelaskan. Dalam kasus lain, seorang teman yang saya dukung dengan sepenuh hati selama dua tahun tiba-tiba mengakhiri hubungan kami, mengklaim bahwa kami memiliki "ikatan trauma." Tidak hanya itu, dia mencoba mengeluarkan saya dari kelompok wanita yang saya kenalkan kepadanya.
Pengalaman-pengalaman ini menyakitkan, tetapi juga membuka mata saya akan kenyataan yang dialami banyak penyandang disabilitas neurodivergen seperti saya.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan disleksia dan ADHD sering kali menghadapi tantangan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan interpersonal.Â
ADHD, misalnya, sering dikaitkan dengan impulsivitas, kesulitan membaca emosi orang lain, atau kecenderungan untuk berbicara tanpa berpikir panjang. Disleksia, meskipun lebih berkaitan dengan kesulitan membaca atau menulis, juga dapat memengaruhi interaksi sosial, terutama ketika rasa tidak percaya diri atau pengalaman masa lalu menjadi beban emosional.
Menurut studi yang diterbitkan di Journal of Attention Disorders (2020), hubungan persahabatan penyandang ADHD lebih rentan terhadap konflik karena adanya "kesenjangan empati" dimana perilaku atau ucapan penyandang ADHD sering disalahartikan sebagai kurangnya perhatian atau rasa peduli. Hal ini diperparah oleh stigma sosial terhadap individu dengan gangguan neurodivergen, yang sering kali dianggap "rumit" atau "terlalu banyak drama."
Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya sering merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh dalam hubungan. Kesalahpahaman kecil bisa menjadi jurang besar yang memisahkan saya dari teman-teman. Impulsivitas saya terkadang membuat saya mengatakan hal-hal yang tidak tepat, sementara ketidakmampuan saya untuk membaca isyarat sosial sering kali dianggap sebagai ketidakpedulian.