Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehancuran Persahabatan Penyandang Disleksia dan ADHD

23 Desember 2024   17:51 Diperbarui: 23 Desember 2024   17:51 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehancuran Persahabatan sebagai Penyandang Disleksia dan ADHD

Persahabatan adalah cermin jiwa tempat kita bisa menjadi diri sendiri, diterima tanpa topeng, dan saling berbagi beban hidup. Namun, bagi penyandang disleksia dan ADHD, persahabatan sering kali bukanlah pelabuhan yang tenang, melainkan lautan bergelombang yang penuh tantangan. Minggu lalu, salah satu persahabatan baru yang terasa dekat dan penuh harapan hancur begitu saja. Ini bukan kali pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa persahabatan saya mengalami hal yang sama: tiba-tiba runtuh, meninggalkan luka yang dalam.

Ada seorang teman yang selama delapan tahun menjadi bagian penting dalam hidup saya dan anak saya. Kami saling membantu dalam pengasuhan anak, bahkan berbagi momen kebahagiaan melalui sleepover anak-anak kami. Namun, semuanya berubah ketika anak saya, dalam ketidaksadarannya, membuat komentar yang memicu perasaannya. Alih-alih menyelesaikan masalah bersama, dia memilih untuk memutus hubungan. Saya mencoba menjangkau kembali setelah beberapa tahun, tetapi hanya mendapat respons dingin, seolah-olah saya hanyalah orang asing.

Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, ada momen-momen ketika "diri yang sebenarnya" muncul, membawa serta kerentanan yang sulit dijelaskan. Dalam kasus lain, seorang teman yang saya dukung dengan sepenuh hati selama dua tahun tiba-tiba mengakhiri hubungan kami, mengklaim bahwa kami memiliki "ikatan trauma." Tidak hanya itu, dia mencoba mengeluarkan saya dari kelompok wanita yang saya kenalkan kepadanya.

Pengalaman-pengalaman ini menyakitkan, tetapi juga membuka mata saya akan kenyataan yang dialami banyak penyandang disabilitas neurodivergen seperti saya.

Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan disleksia dan ADHD sering kali menghadapi tantangan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan interpersonal. ADHD, misalnya, sering dikaitkan dengan impulsivitas, kesulitan membaca emosi orang lain, atau kecenderungan untuk berbicara tanpa berpikir panjang. Disleksia, meskipun lebih berkaitan dengan kesulitan membaca atau menulis, juga dapat memengaruhi interaksi sosial, terutama ketika rasa tidak percaya diri atau pengalaman masa lalu menjadi beban emosional.

Menurut studi yang diterbitkan di Journal of Attention Disorders (2020), hubungan persahabatan penyandang ADHD lebih rentan terhadap konflik karena adanya "kesenjangan empati" dimana perilaku atau ucapan penyandang ADHD sering disalahartikan sebagai kurangnya perhatian atau rasa peduli. Hal ini diperparah oleh stigma sosial terhadap individu dengan gangguan neurodivergen, yang sering kali dianggap "rumit" atau "terlalu banyak drama."

Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, saya sering merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh dalam hubungan. Kesalahpahaman kecil bisa menjadi jurang besar yang memisahkan saya dari teman-teman. Impulsivitas saya terkadang membuat saya mengatakan hal-hal yang tidak tepat, sementara ketidakmampuan saya untuk membaca isyarat sosial sering kali dianggap sebagai ketidakpedulian.

Namun, yang paling menyakitkan adalah momen ketika saya merasa telah membuka diri sepenuhnya menjadi diri saya yang sebenarnya hanya untuk ditinggalkan. Rasanya seperti mengulangi trauma lama di sekolah, di mana saya sering disalahpahami oleh guru dan teman-teman sebaya.

Meski pahit, pengalaman ini mengajarkan saya banyak hal. Saya belajar bahwa persahabatan yang sejati membutuhkan pemahaman, kesabaran, dan penerimaan tanpa syarat. Saya juga menyadari bahwa bukan semua orang siap menerima "sisi asli" saya, dan itu tidak apa-apa.

Dalam perjalanan ini, saya juga menemukan teman-teman yang mau belajar dan tumbuh bersama. Mereka adalah cahaya di tengah kegelapan, mengingatkan saya bahwa meskipun sulit, ada orang-orang yang akan tetap berada di sisi kita.

Bagi Anda yang sedang berjuang dengan tantangan serupa, ingatlah bahwa Anda tidak sendiri. Setiap hubungan yang gagal mungkin menyakitkan, tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Seperti kata seorang peneliti hubungan sosial, "Persahabatan adalah seni, dan setiap seni membutuhkan proses, bahkan melalui luka dan kesalahan."

Dan bagi mereka yang memilih untuk tinggal, mendengarkan, dan menerima kita apa adanya, mereka adalah hadiah terbesar yang bisa kita harapkan.

"Aku mungkin tidak sempurna, tetapi aku nyata. Aku mungkin tidak selalu benar, tetapi aku berusaha. Dan bagi mereka yang tetap tinggal, aku akan selalu bersyukur."

Meskipun hati saya masih penuh luka, saya memilih untuk percaya bahwa setiap kehancuran adalah kesempatan untuk membangun kembali lebih kuat, lebih jujur, dan lebih tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun