"Melodi yang Tersembunyi : Mengungkap Keterhubungan Autisme dan Disleksia"
Ketika kita berbicara tentang autisme, mungkin jarang terpikirkan bahwa kondisi ini dapat bersinggungan dengan disleksia, sebuah gangguan belajar spesifik yang memengaruhi kemampuan membaca, menulis, dan mengeja seseorang. Namun, semakin banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan yang menarik dan kompleks antara keduanya. Sebagai seseorang yang hidup dengan disleksia dan ADHD, perjalanan saya mengenali dunia ini tak hanya berliku, tetapi juga penuh pelajaran berharga.
Disleksia bukan sekadar "kesulitan membaca." Ini adalah perbedaan neurologis yang memengaruhi cara otak memproses bahasa. Orang dengan disleksia sering kali mengalami kesulitan mengenali kata dengan akurat, memahami struktur fonem, dan menghubungkan suara dengan huruf. Mereka juga mungkin terhambat dalam memahami makna bacaan karena tantangan dalam mengurai kata atau frasa.
Sebagai contoh, saya masih ingat ketika kecil, huruf-huruf seperti b dan d tampak seperti sepasang saudara kembar yang terus-menerus bertukar tempat. Angka enam dan sembilan pun tampak seperti permainan cermin yang membingungkan. Kesulitan ini sering kali menjadi bahan candaan teman-teman, namun bagi saya, itu adalah dunia yang terasa seperti teka-teki tanpa jawaban.
Autisme dan disleksia adalah kondisi yang berbeda, tetapi mereka berbagi beberapa karakteristik umum, seperti:
- Kesulitan dengan fungsi eksekutif, termasuk manajemen waktu, organisasi, dan memprioritaskan tugas.
- Sensitivitas sensorik, seperti kepekaan terhadap cahaya atau suara, yang dapat mengganggu fokus dan pembelajaran.
- Kesulitan membaca isyarat sosial, yang kadang memperburuk kesalahpahaman di lingkungan sosial atau akademik.
Menurut penelitian terbaru, area otak yang bertanggung jawab atas pemrosesan bahasa seperti area Broca dan Wernicke menunjukkan pola konektivitas yang unik baik pada individu dengan autisme maupun disleksia. Studi oleh Journal of Autism and Developmental Disorders (2023) menemukan bahwa meskipun jalur perkembangan otak berbeda, ada tumpang tindih yang signifikan dalam kesulitan pemrosesan bahasa pada kedua kelompok ini.
Bagi saya, keterkaitan ini menjelaskan banyak hal tentang masa kecil saya. Sebagai anak dengan ADHD dan disleksia, saya sering merasa tidak cocok di kelas, di mana sistem pendidikan menuntut keteraturan dan pemahaman yang cepat. Namun, saya juga menemukan bahwa kekurangan saya adalah cerminan dari kekuatan tersembunyi. Kreativitas saya, cara saya melihat dunia secara berbeda, dan kemampuan saya untuk berpikir di luar kotak adalah hasil dari perjalanan panjang melawan keterbatasan.
Sebagai seorang guru untuk anak berkebutuhan khusus, saya melihat bagaimana kesalahpahaman tentang disleksia dan autisme dapat memperparah tantangan yang dihadapi anak-anak. Banyak yang diberi label "malas" atau "tidak cerdas," padahal mereka hanya membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Pemahaman dan penerimaan adalah langkah pertama. Guru dan orang tua harus belajar mengenali tanda-tanda awal disleksia dan autisme, memahami cara mereka memengaruhi pembelajaran, dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Memberikan instruksi yang sederhana, berulang, dan visual dapat sangat membantu anak-anak dengan tantangan ini.
Mari kita berhenti melihat disleksia dan autisme sebagai "kecacatan," tetapi sebagai variasi cara berpikir manusia. Dengan memahami mereka lebih dalam, kita dapat membantu mereka mengubah kelemahan menjadi kekuatan.
"Setiap anak unik, setiap perjuangan berharga. Jangan pernah meremehkan kekuatan tersembunyi di balik tantangan."
-- Imam Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H