Saya sendiri mengalaminya ketika mendesain sampul buku tahunan sekolah. Meski nilai akademik saya tidak cemerlang, proyek ini memberi saya kepuasan dan keyakinan bahwa saya memiliki bakat yang unik.
Sayangnya, hanya 3% dari populasi yang percaya bahwa dyslexia adalah sesuatu yang positif. Kebanyakan anak dengan dyslexia tumbuh dengan perasaan malu, marah, atau bahkan bodoh. Perasaan ini tidak hilang begitu saja setelah mereka meninggalkan sekolah. Banyak dari kami yang menyembunyikan kondisi ini dari dunia kerja karena takut dianggap tidak kompeten.
Namun, dunia sedang berubah. Di era Revolusi Industri, keterampilan seperti kreativitas, pemecahan masalah, dan imajinasi menjadi semakin penting. Dan, inilah saatnya para penderita disleksia bersinar.
Jika Kalian merasa berbeda, ingatlah: Kalian tidak cacat. Kalian hanya memiliki cara berpikir yang unik cara berpikir yang bisa menjadi kekuatan super Kalian. Dunia membutuhkan kreativitas, imajinasi, dan solusi inovatif. Dan Kalian, sebagai penderita disleksia, memiliki semuanya.
Mari kita ubah cara pandang masyarakat. Mari kita tunjukkan bahwa dyslexia bukanlah hambatan, melainkan sebuah anugerah.
Saya, Imam Setiawan, dengan bangga mengatakan bahwa saya adalah seorang dyslexic bukan cacat, tetapi seorang pemilik kekuatan super.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H