Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dyskryptoniter Vs Superman, Mengubah Persepsi Disleksia dari Kelemahan Menjadi Kekuatan Super

2 Desember 2024   11:50 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dyskryptoniter vs. Superman: Mengubah Persepsi Disleksia dari Kelemahan Menjadi Kekuatan Super

Saat mendengar kata "Superman," apa yang langsung terlintas di pikiran kita? Sosok luar biasa dengan kekuatan tak terbatas, mampu terbang lebih cepat dari peluru, mengangkat benda seberat gunung, dan menyelamatkan dunia. 

Tapi bayangkan jika dunia hanya mengingat Superman sebagai "dyskryptoniter"  seseorang yang lemah karena terpapar kryptonite. Bukankah itu tidak adil? Kekuatan legendarisnya terabaikan hanya karena satu kelemahan kecil.

Hal serupa terjadi pada disleksia. Ketika mendengar istilah itu, kebanyakan orang hanya berpikir: kesulitan membaca. Mereka lupa bahwa di balik kelemahan itu, disleksia menyimpan "kekuatan super" yang luar biasa kreativitas, kemampuan berpikir out-of-the-box, melihat gambaran besar, pemecahan masalah yang kompleks, hingga kepekaan terhadap pola dan visualisasi spasial yang mendalam.

Sebagai seorang disleksia-ADHD, saya sering dianggap "lemah" di dunia pendidikan. Saat masih kecil, huruf-huruf di buku seperti menari di depan mata saya. Guru-guru menilai saya malas, teman-teman mengejek, dan dunia seperti mengukir stempel "gagal" di dahi saya. Namun, apa yang mereka tidak lihat adalah otak saya yang bekerja dengan cara berbeda, penuh warna, ide, dan perspektif unik.

Dalam perjalanan saya bersama proyek Dyslexia Keliling Nusantara, saya melihat betapa banyak anak-anak disleksia lainnya yang mengalami stigma serupa. Namun, saya juga menyaksikan bagaimana mereka bersinar di bidang yang tidak bisa dijangkau orang lain. Ada seorang anak yang mampu membuat miniatur gedung dengan presisi luar biasa hanya dari bayangan di pikirannya. Ada juga anak lain yang, meskipun tidak bisa membaca secepat teman-temannya, memiliki pemahaman visual yang jauh melampaui usia mereka.

Menurut Dr. Brock Eide dan Dr. Fernette Eide dalam buku mereka The Dyslexic Advantage, otak disleksia memiliki keunikan dalam empat area utama: MIND Material (pemahaman spasial), Interconnectedness (keterhubungan konsep), Narrative (kekuatan cerita), dan Dynamic reasoning (kemampuan memproyeksikan hasil di masa depan). Semua ini adalah kemampuan yang memungkinkan mereka untuk unggul dalam seni, sains, teknologi, dan bidang kreatif lainnya.

Namun, dunia kita sering hanya menilai kemampuan berdasarkan kecepatan membaca atau kemahiran dalam matematika konvensional. Sistem pendidikan yang seragam sering kali gagal melihat potensi di balik "kelemahan." Padahal, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia cenderung lebih unggul dalam menyelesaikan masalah non-linear dan memiliki intuisi kreatif yang tajam.

Kita perlu mengubah cara kita melihat disleksia bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai variasi neurologis yang memiliki kekuatan unik. Ini adalah pekerjaan besar, pekerjaan seperti yang hanya bisa dilakukan Superman. Tapi, Superman tidak bekerja sendiri. Kita semua bisa menjadi bagian dari perubahan ini, baik sebagai orang tua, guru, atau masyarakat.

Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan mengubah hidup anak-anak dengan disleksia, tetapi juga membangun harapan. Ketika saya berhasil membantu seorang anak membaca kata pertama mereka, atau melihat senyum lebar ketika mereka merasa dihargai atas karya mereka, saya tahu bahwa misi ini berarti.

Superman tidak sempurna, tetapi ia adalah pahlawan. Disleksia juga bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk menghadapi dunia dengan cara yang berbeda. Sebagaimana saya terus belajar dari perjalanan hidup saya sendiri, saya ingin menyampaikan kepada setiap anak dengan disleksia:

"Kamu bukan lemah karena cara berpikirmu berbeda. Kamu adalah pahlawan, dengan kekuatan super yang dunia butuhkan."

Mari kita rebranding disleksia bukan sebagai kekurangan, tetapi sebagai keunikan. Karena pada akhirnya, yang membuat kita luar biasa adalah keberanian untuk melangkah melampaui batas.

"It's not what you look at that matters, it's what you see."
---Henry David Thoreau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun