Dyskryptoniter vs. Superman: Mengubah Persepsi Disleksia dari Kelemahan Menjadi Kekuatan Super
Saat mendengar kata "Superman," apa yang langsung terlintas di pikiran kita? Sosok luar biasa dengan kekuatan tak terbatas, mampu terbang lebih cepat dari peluru, mengangkat benda seberat gunung, dan menyelamatkan dunia.
Tapi bayangkan jika dunia hanya mengingat Superman sebagai "dyskryptoniter" seseorang yang lemah karena terpapar kryptonite. Bukankah itu tidak adil? Kekuatan legendarisnya terabaikan hanya karena satu kelemahan kecil.
Hal serupa terjadi pada disleksia. Ketika mendengar istilah itu, kebanyakan orang hanya berpikir: kesulitan membaca. Mereka lupa bahwa di balik kelemahan itu, disleksia menyimpan "kekuatan super" yang luar biasa kreativitas, kemampuan berpikir out-of-the-box, melihat gambaran besar, pemecahan masalah yang kompleks, hingga kepekaan terhadap pola dan visualisasi spasial yang mendalam.
Sebagai seorang disleksia-ADHD, saya sering dianggap "lemah" di dunia pendidikan. Saat masih kecil, huruf-huruf di buku seperti menari di depan mata saya. Guru-guru menilai saya malas, teman-teman mengejek, dan dunia seperti mengukir stempel "gagal" di dahi saya. Namun, apa yang mereka tidak lihat adalah otak saya yang bekerja dengan cara berbeda, penuh warna, ide, dan perspektif unik.
Dalam perjalanan saya bersama proyek Dyslexia Keliling Nusantara, saya melihat betapa banyak anak-anak disleksia lainnya yang mengalami stigma serupa. Namun, saya juga menyaksikan bagaimana mereka bersinar di bidang yang tidak bisa dijangkau orang lain. Ada seorang anak yang mampu membuat miniatur gedung dengan presisi luar biasa hanya dari bayangan di pikirannya. Ada juga anak lain yang, meskipun tidak bisa membaca secepat teman-temannya, memiliki pemahaman visual yang jauh melampaui usia mereka.
Menurut Dr. Brock Eide dan Dr. Fernette Eide dalam buku mereka The Dyslexic Advantage, otak disleksia memiliki keunikan dalam empat area utama: MIND Material (pemahaman spasial), Interconnectedness (keterhubungan konsep), Narrative (kekuatan cerita), dan Dynamic reasoning (kemampuan memproyeksikan hasil di masa depan). Semua ini adalah kemampuan yang memungkinkan mereka untuk unggul dalam seni, sains, teknologi, dan bidang kreatif lainnya.
Namun, dunia kita sering hanya menilai kemampuan berdasarkan kecepatan membaca atau kemahiran dalam matematika konvensional. Sistem pendidikan yang seragam sering kali gagal melihat potensi di balik "kelemahan." Padahal, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia cenderung lebih unggul dalam menyelesaikan masalah non-linear dan memiliki intuisi kreatif yang tajam.
Kita perlu mengubah cara kita melihat disleksia bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai variasi neurologis yang memiliki kekuatan unik. Ini adalah pekerjaan besar, pekerjaan seperti yang hanya bisa dilakukan Superman. Tapi, Superman tidak bekerja sendiri. Kita semua bisa menjadi bagian dari perubahan ini, baik sebagai orang tua, guru, atau masyarakat.
Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan mengubah hidup anak-anak dengan disleksia, tetapi juga membangun harapan. Ketika saya berhasil membantu seorang anak membaca kata pertama mereka, atau melihat senyum lebar ketika mereka merasa dihargai atas karya mereka, saya tahu bahwa misi ini berarti.