Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Aku, Disleksia, dan Pilkada, Harapan Baru untuk Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

27 November 2024   07:58 Diperbarui: 27 November 2024   08:07 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku, Disleksia, dan Pilkada: Harapan Baru untuk Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

"Setiap suara itu berarti, seperti setiap anak adalah cahaya yang menunggu untuk bersinar, meski terkadang terhalang oleh ketidakmengertian."

Pilkada serentak yang sedang berlangsung di berbagai daerah bukan hanya tentang memilih pemimpin baru, tetapi juga tentang harapan dan masa depan masyarakat, termasuk mereka yang sering terabaikan: anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti disleksia dan ADHD. 

Sebagai seseorang yang hidup dengan kedua kondisi ini, perjalanan saya penuh liku, dan pengalaman saya membawa Dyslexia Keliling Nusantara telah membuka mata saya akan tantangan yang dihadapi anak-anak ini di berbagai pelosok negeri.

Di banyak kabupaten yang saya kunjungi, stigma terhadap anak berkebutuhan khusus masih sangat kuat. Guru-guru, terutama di daerah terpencil, sering kali tidak memiliki pelatihan atau pemahaman yang memadai tentang bagaimana mendeteksi atau mendukung anak-anak ini. 

Salah satu anak yang saya temui, sebut saja Rafi, seorang anak kelas 3 SD, dicap malas karena tidak bisa membaca dengan lancar. Guru-gurunya tidak menyadari bahwa Rafi memiliki disleksia, sehingga ia hanya menerima hukuman alih-alih bantuan.

Data dari penelitian Universitas Indonesia menunjukkan bahwa di Indonesia, prevalensi anak dengan disleksia diperkirakan mencapai 5-10% dari total populasi anak usia sekolah. 

Namun, sistem pendidikan kita belum siap untuk menangani kebutuhan mereka. Sebuah penelitian oleh Dr. Sally Shaywitz dari Yale University menyebutkan bahwa dengan intervensi yang tepat, anak-anak disleksia dapat berkembang luar biasa. Tetapi tanpa itu, mereka berisiko kehilangan potensi besar yang ada dalam diri mereka.

Pilkada serentak ini menjadi peluang besar untuk membawa perubahan. Pemimpin daerah yang terpilih memiliki kekuatan untuk membentuk kebijakan yang lebih inklusif, terutama dalam sektor pendidikan. Bayangkan jika setiap kabupaten memiliki program pelatihan guru khusus untuk mendeteksi dan membantu anak-anak dengan disleksia, ADHD, atau kebutuhan khusus lainnya.

Sebagai orang yang pernah dianggap gagal di sekolah karena kesalahpahaman terhadap disleksia dan ADHD, saya tahu betapa pentingnya memiliki pemimpin yang peduli. Kita butuh kebijakan yang:

  1. Memperkuat pelatihan guru. Guru adalah garda terdepan dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus.
  2. Membentuk pusat sumber belajar inklusif. Setiap daerah harus memiliki pusat konsultasi dan pelatihan untuk membantu anak dan orang tua.
  3. Memberikan perhatian pada infrastruktur sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus sering kali kesulitan dengan fasilitas umum sekolah.

Ketika saya memulai Dyslexia Keliling Nusantara, saya ingin memastikan bahwa suara anak-anak ini tidak lagi diabaikan. Dalam perjalanan saya, saya belajar bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik. Jika para pemimpin yang terpilih melalui Pilkada mampu menyadari hal ini dan mengambil langkah nyata, maka kita sedang menuju masa depan yang lebih cerah.

Pendidikan yang inklusif tidak hanya akan membantu anak-anak ini mencapai potensi mereka, tetapi juga mengangkat martabat bangsa. Sebuah studi oleh UNESCO menunjukkan bahwa inklusi dalam pendidikan meningkatkan toleransi sosial dan kesetaraan ekonomi.

Kepada para pemimpin yang akan terpilih, saya ingin menyampaikan pesan:
"Ketika Anda merancang kebijakan pendidikan, ingatlah bahwa setiap anak adalah pemimpin masa depan. Jangan biarkan mereka tersesat hanya karena kita tidak memahami mereka hari ini."

Bagi saya, Pilkada bukan hanya tentang politik, tetapi tentang peluang. Ini adalah momen untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak seperti saya yang merasa gagal hanya karena sistem tidak mendukung mereka. Saya berharap suatu hari, ketika anak-anak disleksia seperti Rafi menatap buku pelajaran, mereka akan melihat masa depan yang cerah, bukan rasa takut.

"Pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Pilkada adalah langkah pertama untuk memastikan hak itu diberikan dengan penuh cinta dan pengertian bagi setiap anak, tanpa terkecuali."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun