Seorang anak ADHD bukan pembangkang, melainkan seseorang yang membutuhkan ruang untuk bergerak dan mengekspresikan diri.Â
Pelatihan ini bukan hanya teori, tetapi juga praktik dan pengalaman langsung, sehingga setiap guru benar-benar mampu mendampingi anak-anak ini.
Kedua, kurikulum kita perlu berubah. Kurikulum yang ada terlalu sering fokus pada angka-angka, nilai ujian, dan hafalan. Anak-anak bukanlah mesin kalkulator.Â
Kurikulum harus dirancang untuk membantu mereka menemukan kekuatan unik dalam diri mereka, baik itu di bidang seni, olahraga, keterampilan teknis, atau bahkan kemampuan sosial. Pendidikan harus mengajarkan nilai, bukan hanya angka.
Ketiga, setiap sekolah harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Ruang kelas harus dirancang ramah anak berkebutuhan khusus.Â
Tidak cukup hanya ada guru yang paham, tetapi juga lingkungan fisik yang inklusif, mulai dari alat bantu belajar hingga aksesibilitas bagi anak-anak dengan disabilitas fisik.
Dan keempat, masyarakat harus diajak berubah. Tidak akan ada pendidikan inklusif yang berhasil jika masyarakat masih menganggap anak-anak ini beban atau masalah. Kampanye nasional untuk menghapus stigma harus dimulai, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan lingkungan.Â
Orang tua harus diajarkan untuk mendukung, bukan menghukum. Teman-teman mereka di sekolah harus diajarkan untuk menerima, bukan mengejek.
Aku bermimpi suatu hari nanti tidak ada lagi anak yang menangis di sudut kelas karena tidak bisa membaca. Tidak ada lagi anak yang dihukum hanya karena tidak bisa duduk diam.
Tidak ada lagi anak yang merasa dirinya salah, hanya karena caranya memahami dunia berbeda. Aku ingin mereka dipeluk, dimengerti, dan diberi ruang untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka.
Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, aku tahu betapa berartinya dukungan itu. Ayahku dulu duduk bersamaku, membacakan buku berulang kali, tidak pernah marah meskipun aku sering lupa atau salah membaca.Â