Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bahasa yang Hilang: Menerjemahkan Pikiran Disleksia

21 November 2024   11:33 Diperbarui: 21 November 2024   11:36 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pikiran saya melesat, tetapi kata-kata tertinggal. Dalam benak, segalanya jelas seperti peta; tetapi ketika berbicara, jalannya bercabang-cabang, penuh belokan yang sulit dijelaskan." Kalimat ini kerap muncul di benak saya setiap kali harus berbicara di depan umum. Sebagai penyandang disleksia, komunikasi bagi saya bukan sekadar soal menyusun kata, tetapi seni menghadirkan isi pikiran yang berwarna-warni menjadi kalimat yang bisa dipahami orang lain.

Bagi orang yang tidak hidup dengan disleksia, mungkin sulit membayangkan bagaimana otak yang dipenuhi ide cemerlang justru bisa "terjebak" ketika berhadapan dengan kata-kata. Perjalanan menerjemahkan pikiran ke dalam bahasa adalah pengalaman yang kompleks, penuh perjuangan, dan sering kali emosional.

Anak dengan disleksia menghadapi tantangan yang jauh melampaui kemampuan membaca dan menulis. Penelitian menunjukkan bahwa mereka juga mengalami kesulitan dalam memproses dan menyusun bahasa lisan. Dr. Sally Shaywitz, dalam bukunya Overcoming Dyslexia, menjelaskan bahwa disleksia memengaruhi jalur fonologis di otak, bagian yang bertanggung jawab untuk memproses suara dan menghubungkannya dengan makna. Akibatnya, anak-anak dengan disleksia sering merasa bahwa pikiran mereka penuh ide, tetapi mereka kesulitan menyampaikan ide-ide tersebut dengan jelas.

Dari luar, tantangan ini sering disalahartikan. Mereka yang tidak paham mungkin menganggap anak disleksia "malas" atau "tidak fokus." Bahkan, tak jarang mereka dicap "aneh" hanya karena menggunakan kata-kata yang tidak biasa atau kehilangan arah di tengah percakapan. Sebagai seseorang yang pernah mengalami ini, saya tahu betapa menyakitkannya menghadapi tawa atau tatapan bingung dari teman-teman sekelas, hanya karena penjelasan saya terdengar "acak-acakan."

Namun, di balik semua itu, ada kekuatan yang jarang disadari. Banyak anak disleksia memiliki kecerdasan yang sama atau bahkan di atas rata-rata. Mereka memandang dunia dengan cara yang unik, dan sering kali, ide-ide mereka lebih besar daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tantangannya adalah menemukan cara untuk menjembatani keunikan itu dengan dunia luar.

Saya ingat salah satu momen yang paling membekas dalam hidup saya. Saat itu, saya diundang berbicara di sebuah seminar pendidikan untuk membagikan pengalaman saya sebagai penyandang disleksia. Berdiri di atas panggung, saya merasa pikiran saya seperti sungai yang mengalir deras, penuh ide yang ingin saya tuangkan. Namun, ketika tiba saatnya berbicara, kata-kata saya terasa seperti butiran pasir kecil, tak sebanding dengan luasnya ide di dalam kepala.

Awalnya, kegugupan melanda. Saya khawatir audiens tidak akan mengerti maksud saya. Tetapi, saya kemudian menyadari satu hal: komunikasi bukan hanya soal kata-kata yang sempurna. Saya memilih berbicara dengan hati, jujur apa adanya, berusaha menyampaikan esensi dari apa yang saya rasakan, bukan detail teknisnya.

Keajaiban terjadi. Meskipun kata-kata saya jauh dari sempurna, banyak dari audiens yang justru merasa tersentuh. Beberapa mendatangi saya setelah sesi, mengatakan, "Cara Anda berbicara membuat kami merasakan emosi Anda." Itu adalah momen yang membuka mata saya: kekuatan komunikasi tidak selalu terletak pada keindahan kata-kata, tetapi pada kejujuran dan ketulusan.

Bagi saya, perjalanan menjadi seorang guru sekaligus penyandang disleksia adalah tentang belajar menemukan "bahasa" lain cara baru untuk menjembatani dunia pikiran saya dengan dunia di luar. Kadang-kadang itu berarti menggunakan visual, cerita, atau bahkan humor untuk menyampaikan ide. Di lain waktu, itu berarti menerima ketidaksempurnaan, percaya bahwa apa yang saya sampaikan, meski tak sempurna, tetap memiliki makna.

Anak-anak dengan disleksia membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi cara mereka sendiri dalam berkomunikasi. Mereka perlu didukung, bukan ditekan untuk memenuhi standar komunikasi yang kaku. Sebab, di balik kerumitan kata-kata yang tertinggal, ada dunia ide yang begitu kaya dan penuh potensi.

Melalui perjalanan ini, saya belajar bahwa meskipun kata-kata saya tertinggal, makna tidak pernah hilang. Setiap anak disleksia memiliki cerita untuk diceritakan cerita yang tak selalu bisa diucapkan, tetapi bisa dirasakan. Maka, tugas kita sebagai orang dewasa adalah mendengar dengan hati, bukan hanya dengan telinga, dan membantu mereka menemukan bahasa mereka sendiri, yang mungkin tak terlihat, tetapi sangat bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun