"Pikiran saya melesat, tetapi kata-kata tertinggal. Dalam benak, segalanya jelas seperti peta; tetapi ketika berbicara, jalannya bercabang-cabang, penuh belokan yang sulit dijelaskan." Kalimat ini kerap muncul di benak saya setiap kali harus berbicara di depan umum. Sebagai penyandang disleksia, komunikasi bagi saya bukan sekadar soal menyusun kata, tetapi seni menghadirkan isi pikiran yang berwarna-warni menjadi kalimat yang bisa dipahami orang lain.
Bagi orang yang tidak hidup dengan disleksia, mungkin sulit membayangkan bagaimana otak yang dipenuhi ide cemerlang justru bisa "terjebak" ketika berhadapan dengan kata-kata. Perjalanan menerjemahkan pikiran ke dalam bahasa adalah pengalaman yang kompleks, penuh perjuangan, dan sering kali emosional.
Anak dengan disleksia menghadapi tantangan yang jauh melampaui kemampuan membaca dan menulis. Penelitian menunjukkan bahwa mereka juga mengalami kesulitan dalam memproses dan menyusun bahasa lisan. Dr. Sally Shaywitz, dalam bukunya Overcoming Dyslexia, menjelaskan bahwa disleksia memengaruhi jalur fonologis di otak, bagian yang bertanggung jawab untuk memproses suara dan menghubungkannya dengan makna. Akibatnya, anak-anak dengan disleksia sering merasa bahwa pikiran mereka penuh ide, tetapi mereka kesulitan menyampaikan ide-ide tersebut dengan jelas.
Dari luar, tantangan ini sering disalahartikan. Mereka yang tidak paham mungkin menganggap anak disleksia "malas" atau "tidak fokus." Bahkan, tak jarang mereka dicap "aneh" hanya karena menggunakan kata-kata yang tidak biasa atau kehilangan arah di tengah percakapan. Sebagai seseorang yang pernah mengalami ini, saya tahu betapa menyakitkannya menghadapi tawa atau tatapan bingung dari teman-teman sekelas, hanya karena penjelasan saya terdengar "acak-acakan."
Namun, di balik semua itu, ada kekuatan yang jarang disadari. Banyak anak disleksia memiliki kecerdasan yang sama atau bahkan di atas rata-rata. Mereka memandang dunia dengan cara yang unik, dan sering kali, ide-ide mereka lebih besar daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tantangannya adalah menemukan cara untuk menjembatani keunikan itu dengan dunia luar.
Saya ingat salah satu momen yang paling membekas dalam hidup saya. Saat itu, saya diundang berbicara di sebuah seminar pendidikan untuk membagikan pengalaman saya sebagai penyandang disleksia. Berdiri di atas panggung, saya merasa pikiran saya seperti sungai yang mengalir deras, penuh ide yang ingin saya tuangkan. Namun, ketika tiba saatnya berbicara, kata-kata saya terasa seperti butiran pasir kecil, tak sebanding dengan luasnya ide di dalam kepala.
Awalnya, kegugupan melanda. Saya khawatir audiens tidak akan mengerti maksud saya. Tetapi, saya kemudian menyadari satu hal: komunikasi bukan hanya soal kata-kata yang sempurna. Saya memilih berbicara dengan hati, jujur apa adanya, berusaha menyampaikan esensi dari apa yang saya rasakan, bukan detail teknisnya.
Keajaiban terjadi. Meskipun kata-kata saya jauh dari sempurna, banyak dari audiens yang justru merasa tersentuh. Beberapa mendatangi saya setelah sesi, mengatakan, "Cara Anda berbicara membuat kami merasakan emosi Anda." Itu adalah momen yang membuka mata saya: kekuatan komunikasi tidak selalu terletak pada keindahan kata-kata, tetapi pada kejujuran dan ketulusan.
Bagi saya, perjalanan menjadi seorang guru sekaligus penyandang disleksia adalah tentang belajar menemukan "bahasa" lain cara baru untuk menjembatani dunia pikiran saya dengan dunia di luar. Kadang-kadang itu berarti menggunakan visual, cerita, atau bahkan humor untuk menyampaikan ide. Di lain waktu, itu berarti menerima ketidaksempurnaan, percaya bahwa apa yang saya sampaikan, meski tak sempurna, tetap memiliki makna.
Anak-anak dengan disleksia membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi cara mereka sendiri dalam berkomunikasi. Mereka perlu didukung, bukan ditekan untuk memenuhi standar komunikasi yang kaku. Sebab, di balik kerumitan kata-kata yang tertinggal, ada dunia ide yang begitu kaya dan penuh potensi.