"Di Balik Senyuman yang Tak Terlihat: Perjuangan Guru Pendamping Khusus di Sekolah Inklusi"
Menjadi seorang guru pendamping khusus di sekolah inklusi bukan sekadar profesi bagi mereka yang ingin bekerja di dunia pendidikan.
Ini adalah sebuah panggilan jiwa, sebuah perjuangan yang sering kali tak dipahami, bahkan diremehkan oleh banyak orang, termasuk oleh rekan-rekan mereka di lingkungan sekolah.
Di negara ini, banyak dari kita saya termasuk di dalamnya telah merasakan betapa beratnya peran yang disandang, peran yang sering kali dilihat sekadar sebagai "pendamping" atau bahkan "pengasuh."
Padahal, guru pendamping khusus adalah jembatan antara anak berkebutuhan khusus dengan dunia pendidikan yang inklusif, dunia yang masih penuh tantangan dan hambatan.
Di ruang kelas, sering kali kami bukan hanya sekadar hadir untuk mendampingi anak-anak dengan kebutuhan khusus, tapi kami berperan aktif sebagai penuntun mereka. Kami memberikan dorongan, menciptakan suasana belajar yang nyaman, dan menyesuaikan materi agar dapat diakses oleh semua anak didik.
Namun ironisnya, meskipun kami berada di ruang kelas yang sama, kami sering kali dianggap bukan bagian dari struktur formal sekolah. Struktur sekolah masih saja membedakan kami dengan guru kelas, padahal tanggung jawab kami tak kalah besar, bahkan kadang lebih dalam.
Dalam beberapa kasus, saya bahkan mendengar pandangan bahwa guru pendamping hanya "membantu anak-anak ini duduk diam di kelas" atau "menjaga mereka agar tidak mengganggu proses belajar." Perspektif ini sangat keliru dan menunjukkan ketidakpahaman yang masih terjadi.
Guru pendamping khusus memiliki kompetensi, pemahaman teori, dan keterampilan khusus yang dikembangkan untuk menangani kebutuhan belajar yang kompleks.
Studi dari Nusirwan (2021) menyebutkan bahwa guru pendamping khusus memiliki peran signifikan dalam mengembangkan keterampilan sosial, motorik, hingga kemampuan kognitif anak berkebutuhan khusus. Kami bukan pengasuh, kami adalah guru dengan keterampilan yang setara.
Sebagai seseorang yang tumbuh dengan disleksia dan ADHD, saya mengerti betapa berartinya dukungan seorang guru yang benar-benar peduli, yang memahami tantangan dan menerima setiap keunikan yang saya miliki.
Pengalaman ini yang membawa saya ke dunia pendidikan sebagai guru pendamping khusus, sebuah perjalanan yang penuh makna, meski tak selalu mudah.
Saya sering menghadapi pertanyaan dari rekan guru dan bahkan kepala sekolah yang menanyakan mengapa anak-anak ini "harus didampingi."
Ada juga yang berpendapat bahwa peran kami sekadar tambahan, bukan bagian esensial dari proses pendidikan. Tetapi bagi saya, mendampingi anak-anak ini adalah bagian dari hidup, sebuah panggilan yang lebih dari sekadar tugas.
Melihat anak-anak yang awalnya kesulitan mengikuti pelajaran lalu perlahan bisa mengangkat tangan untuk menjawab, itu adalah momen yang tak ternilai.
Mereka seperti cermin, mengingatkan saya pada diri saya sendiri saat kecil, penuh perjuangan untuk memahami kata-kata dan angka yang kerap "menari" di atas kertas.
Setiap langkah kecil yang mereka capai adalah bukti bahwa kami tidak hanya "mengasuh."
Kami menginspirasi, kami mendampingi dengan pengetahuan, dan kami memberikan mereka kepercayaan diri yang mungkin tidak pernah mereka miliki sebelumnya.
Di Finlandia, Jepang, dan Kanada, guru pendamping khusus memiliki posisi yang setara dengan guru lainnya. Di Finlandia, misalnya, guru pendamping khusus mendapatkan pelatihan intensif, termasuk dalam pengembangan metode pembelajaran yang inklusif.
Mereka juga diposisikan dalam struktur sekolah yang sama dengan guru kelas, tanpa pembedaan. Mereka dihormati bukan hanya sebagai pendamping, tetapi sebagai pilar pendidikan inklusif yang membantu seluruh kelas berjalan dengan harmoni.
Pemerintah di negara-negara tersebut mendukung penuh para guru pendamping khusus melalui fasilitas, program pelatihan berkelanjutan, dan apresiasi yang jelas.
Di Indonesia, situasinya cukup berbeda. Guru pendamping khusus sering kali tidak dimasukkan dalam struktur sekolah secara formal, dan dalam banyak kasus, mereka bahkan dibayar lebih rendah.
Menurut penelitian oleh Wardani (2023), 70% guru pendamping khusus di Indonesia merasa kurang dihargai, baik dari segi struktur maupun dari segi fasilitas.
Padahal, kebutuhan mereka sama pentingnya dengan kebutuhan guru lainnya. Mengapa peran kami harus selalu dipandang sebelah mata? Mengapa keahlian dan dedikasi kami sering diabaikan, padahal kami memiliki tugas yang sangat krusial?
Kita butuh perubahan, perubahan yang dimulai dari cara kita memandang para guru pendamping khusus. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang memberi ruang bagi anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi juga memberi tempat bagi para pendidik yang bersedia mendampingi mereka dengan penuh cinta dan keahlian.
Apresiasi dan dukungan dari sekolah, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan agar kami bisa menjalankan tugas ini dengan lebih optimal.
Penting juga bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menyediakan program pelatihan dan penghargaan yang layak bagi guru pendamping khusus. Perlu adanya pembenahan sistemik di sekolah-sekolah agar kami tidak lagi dipandang sekadar "pendamping" atau bahkan "pengasuh."
Kami ingin diakui sebagai bagian dari tim pendidikan, sebagai guru sejati yang bekerja dengan tujuan menciptakan dunia yang lebih inklusif dan penuh empati.
Saya mungkin seorang guru pendamping khusus, tapi hati saya adalah seorang guru sejati, seperti guru-guru lainnya. Di balik kesalahpahaman dan tantangan yang kami hadapi, ada senyuman dan kebahagiaan yang tak ternilai saat melihat anak-anak kami berkembang.
Kami bukan sekadar pendamping; kami adalah bagian dari harapan, dari masa depan yang lebih cerah untuk mereka yang selama ini terabaikan.
Semoga kehadiran kami di sekolah inklusi dipandang setara, dipahami, dan dihargai. Setiap anak berhak untuk belajar, dan setiap guru berhak untuk didukung dalam perjalanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H