Di Balik Label 'Biang Masalah':
Menggali Potensi Tersembunyi ADHD di Sekolah
Bagi anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), perjalanan di sekolah sering kali terasa seperti mendaki gunung yang curam. Bukan hanya tantangan dari dalam dirinya sendiri yang harus mereka hadapi, tapi juga stigmatisasi yang datang dari lingkungan luar.
Banyak dari mereka yang dicap sebagai "biang masalah" atau dianggap "nakal" karena kesulitan mereka dalam mengikuti aturan dan menjaga konsentrasi. Padahal, di balik segala keterbatasan yang tampak, otak anak ADHD menyimpan potensi luar biasa yang, jika dioptimalkan, dapat berkembang dengan cara yang menakjubkan.
Dalam pengalaman saya sebagai pendidik, sering kali saya menemukan anak-anak dengan ADHD yang tidak hanya cerdas, tetapi juga kreatif dan inovatif. Namun, menghadapi stigma negatif dari teman sebaya hingga guru yang kurang memahami, sering kali mereka merasa tertekan dan akhirnya sulit mengekspresikan diri dengan optimal.
Misalnya, saya pernah bekerja dengan seorang siswa ADHD dalam proyek berbasis pembelajaran (Project-Based Learning). Pada awalnya, ia cenderung kesulitan untuk duduk diam, sulit memahami instruksi yang panjang, dan sering merasa frustrasi.
Namun, ketika kami mulai mengimplementasikan pendekatan multisensori yang melibatkan visual, sentuhan, dan interaksi langsung dalam proses pembelajaran mulai menunjukkan hasil yang mengesankan. Di balik kecerobohannya dalam kegiatan sehari-hari, ternyata anak ini memiliki bakat luar biasa dalam memecahkan masalah praktis dan mampu berpikir kritis dengan cara yang berbeda dari anak-anak lain.
Stigma yang melekat pada anak ADHD sering kali diperburuk oleh kurangnya pemahaman tentang ADHD di kalangan masyarakat, bahkan di lingkungan sekolah. Mereka kerap kali dipandang sebagai pembuat masalah, sulit diatur, atau bahkan malas. Label-label seperti ini dapat membuat mereka merasa terisolasi dan akhirnya berdampak buruk pada perkembangan sosial dan emosional mereka.
Penelitian oleh Barkley (1997), salah satu ahli terkemuka dalam bidang ADHD, menyatakan bahwa anak-anak dengan ADHD sering mengalami kesulitan dalam fungsi eksekutif, seperti merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan impuls.
Kesulitan ini, bila dilihat tanpa pemahaman yang memadai, memang mudah sekali membuat seseorang menyimpulkan bahwa anak ADHD "tidak mau" mengikuti aturan. Padahal, ketidakmampuan mereka untuk fokus atau menahan impuls adalah bagian dari kondisi mereka yang memerlukan strategi penanganan khusus.
Pendekatan multisensori dan pembelajaran berbasis proyek yang saya terapkan memberikan ruang bagi anak-anak ADHD untuk mengekspresikan diri mereka secara kreatif dan produktif. Dalam sebuah proyek eksperimen sains sederhana, misalnya, anak ADHD dapat menunjukkan potensi luar biasa mereka dalam menyusun hipotesis yang tidak terpikirkan oleh anak-anak lain.
Mereka memanfaatkan berbagai pengalaman inderawi dalam memahami konsep, dan dengan sedikit bimbingan, mereka mampu menyelesaikan proyek dengan baik.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak ADHD sering kali memiliki kreativitas yang tinggi dan kemampuan berpikir divergent yang lebih besar dibandingkan dengan teman sebayanya. Menurut White dan Shah (2011), otak anak ADHD cenderung lebih terbuka terhadap informasi baru dan berpikir "di luar kotak," yang membuat mereka memiliki cara pandang yang unik terhadap masalah.
Selain itu, mereka juga sering kali memiliki energi tinggi, yang bila disalurkan dengan baik dapat mengarahkan mereka untuk mencapai prestasi luar biasa dalam berbagai bidang, terutama yang membutuhkan eksplorasi dan kreativitas tinggi.
Dengan pendekatan yang tepat, anak ADHD dapat mengatasi berbagai tantangan dalam diri mereka dan bahkan mengembangkan kemampuan yang luar biasa. Salah satu strategi yang saya gunakan adalah menempatkan anak-anak ADHD pada kegiatan yang melibatkan pemecahan masalah konkret, di mana mereka dapat menggunakan pendekatan multisensori.
Sebagai contoh, dalam proyek seni atau kerajinan tangan, anak ADHD sering kali lebih bisa mengingat konsep dan instruksi jika instruksinya disajikan dalam bentuk visual dan melibatkan sentuhan. Pendekatan ini tidak hanya membantu mereka memahami konsep secara lebih dalam, tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri mereka karena mereka bisa merasa sukses dalam kegiatan yang relevan dengan kekuatan mereka.
Sebagai pendidik, salah satu momen paling menggugah adalah ketika melihat seorang anak ADHD yang dulu dianggap "nakal" mulai menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka secara positif. Saya pernah melihat seorang anak ADHD yang bertransformasi dari siswa yang sering mendapat teguran menjadi siswa yang penuh percaya diri setelah diberi proyek yang memungkinkannya untuk berpikir kreatif dan bereksperimen.
Dalam ruang kelas inklusif, peran pendidik sangat krusial untuk membangun lingkungan di mana semua anak, termasuk anak ADHD, dapat berkembang tanpa takut dihakimi atau dipandang sebelah mata.
Mungkin anak-anak ini tidak selalu dapat diam di kursi atau mengikuti instruksi secara linier. Namun, ketika diberikan kesempatan untuk belajar dengan cara mereka sendiri, mereka mampu menunjukkan bakat dan potensi yang sering terabaikan. Penerapan pendekatan yang tepat tidak hanya membantu mereka belajar, tetapi juga membantu rekan-rekan mereka untuk melihat anak ADHD sebagai teman yang memiliki kelebihan yang unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H