Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Langkah Kecil, Harapan Besar: Kisah Ayah dan Anak dalam Perjalanan bersama DISLEKSIA

4 November 2024   10:58 Diperbarui: 4 November 2024   10:59 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai ayah dengan disleksia, menjalani hidup tidak selalu mudah. Aku sering merasa seperti "runtuh" dalam dunia yang menilai kecerdasan hanya dari kecepatan membaca atau menulis.

Di ruangan berwarna merah yang penuh ilustrasi, aku berdiri di samping putriku, sambil menggenggam uang kertas dan tersenyum lebar. Di balik senyum itu, ada cerita panjang tentang perjalanan kami, perjuangan yang kadang melelahkan namun selalu berarti. Seperti papan-papan domino yang runtuh satu demi satu, gambar di dinding seolah menggambarkan kisah hidup kami, yang penuh tantangan tetapi selalu ada upaya untuk bangkit kembali.

Sebagai ayah dengan disleksia, menjalani hidup tidak selalu mudah. Aku sering merasa seperti "runtuh" dalam dunia yang menilai kecerdasan hanya dari kecepatan membaca atau menulis. Dari kecil, aku tahu bagaimana rasanya dianggap "berbeda" atau bahkan "bodoh" karena kesulitan yang tidak terlihat dari luar. Dan kini, sebagai seorang ayah, aku melihat hal yang sama pada putriku. Rasanya seperti mengulang masa lalu, namun kali ini aku punya satu tujuan: memastikan dia tidak merasa sendirian dalam perjalanan ini.

Mengasuh putriku dengan disleksia memberi warna baru dalam hidupku. Setiap hari adalah pelajaran baru tentang kesabaran, tentang cinta tanpa syarat, dan tentang betapa pentingnya pemahaman. Melihatnya berjuang dengan huruf-huruf yang seakan menari di hadapannya, aku teringat masa kecilku. Aku tahu rasanya frustrasi, tetapi aku juga tahu dia butuh seseorang yang bisa memahami dan memberikan semangat. Jadi, aku di sini, mencoba menjadi orang tua yang tak hanya memahami, tetapi juga menguatkan.

milik pribadi
milik pribadi

Kepada para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus, aku ingin berbagi pesan ini: perjalanan ini memang tidak mudah, tetapi tidak perlu kita lalui sendiri. Anak-anak kita adalah bintang kecil yang perlu diberi ruang untuk bersinar dengan caranya sendiri. Terkadang kita mungkin merasa putus asa, tetapi percaya lah, setiap usaha kita akan membuat perbedaan besar dalam hidup mereka. Kesabaran dan cinta kita adalah hal terpenting yang bisa kita berikan.

Namun, kami juga tidak bisa sendiri. Tantangan yang dihadapi anak-anak dengan disleksia atau kesulitan belajar spesifik lainnya semakin berat dengan minimnya dukungan dari pemerintah dan sekolah. Inklusi sering kali hanya menjadi kata indah dalam teori, tanpa ada implementasi yang memadai. Masih banyak guru yang tidak paham apa itu disleksia, apa itu diskalkulia, atau apa itu ADHD. Sistem pendidikan kita perlu memahami bahwa anak-anak seperti putriku bukan "malas" atau "kurang pintar," mereka hanya memiliki cara belajar yang berbeda.

Jika pemerintah dan institusi pendidikan lebih serius dalam mengedukasi guru tentang kebutuhan khusus, khususnya kesulitan belajar spesifik, aku yakin anak-anak seperti putriku akan lebih dihargai dan diterima di lingkungan sekolah. Pendidikan yang inklusif bukan sekadar menerima anak dengan kebutuhan khusus, tetapi juga menyediakan dukungan nyata bagi mereka agar bisa berkembang sesuai potensinya.

Dengan senyum ini, aku ingin dunia tahu bahwa kami di sini, dan kami butuh mereka untuk ikut berjuang. Setiap langkah kecil adalah kemenangan, setiap dukungan adalah harapan. Aku berharap suatu hari nanti, tidak ada lagi anak yang merasa sendirian dalam kesulitannya, tidak ada lagi ayah yang merasa "runtuh" dalam menghadapi tantangan ini. Kami akan berdiri tegak, bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun