Sebagai ayah dengan disleksia, menjalani hidup tidak selalu mudah. Aku sering merasa seperti "runtuh" dalam dunia yang menilai kecerdasan hanya dari kecepatan membaca atau menulis.
Di ruangan berwarna merah yang penuh ilustrasi, aku berdiri di samping putriku, sambil menggenggam uang kertas dan tersenyum lebar. Di balik senyum itu, ada cerita panjang tentang perjalanan kami, perjuangan yang kadang melelahkan namun selalu berarti. Seperti papan-papan domino yang runtuh satu demi satu, gambar di dinding seolah menggambarkan kisah hidup kami, yang penuh tantangan tetapi selalu ada upaya untuk bangkit kembali.
Sebagai ayah dengan disleksia, menjalani hidup tidak selalu mudah. Aku sering merasa seperti "runtuh" dalam dunia yang menilai kecerdasan hanya dari kecepatan membaca atau menulis. Dari kecil, aku tahu bagaimana rasanya dianggap "berbeda" atau bahkan "bodoh" karena kesulitan yang tidak terlihat dari luar. Dan kini, sebagai seorang ayah, aku melihat hal yang sama pada putriku. Rasanya seperti mengulang masa lalu, namun kali ini aku punya satu tujuan: memastikan dia tidak merasa sendirian dalam perjalanan ini.
Mengasuh putriku dengan disleksia memberi warna baru dalam hidupku. Setiap hari adalah pelajaran baru tentang kesabaran, tentang cinta tanpa syarat, dan tentang betapa pentingnya pemahaman. Melihatnya berjuang dengan huruf-huruf yang seakan menari di hadapannya, aku teringat masa kecilku. Aku tahu rasanya frustrasi, tetapi aku juga tahu dia butuh seseorang yang bisa memahami dan memberikan semangat. Jadi, aku di sini, mencoba menjadi orang tua yang tak hanya memahami, tetapi juga menguatkan.
Kepada para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus, aku ingin berbagi pesan ini: perjalanan ini memang tidak mudah, tetapi tidak perlu kita lalui sendiri. Anak-anak kita adalah bintang kecil yang perlu diberi ruang untuk bersinar dengan caranya sendiri. Terkadang kita mungkin merasa putus asa, tetapi percaya lah, setiap usaha kita akan membuat perbedaan besar dalam hidup mereka. Kesabaran dan cinta kita adalah hal terpenting yang bisa kita berikan.
Namun, kami juga tidak bisa sendiri. Tantangan yang dihadapi anak-anak dengan disleksia atau kesulitan belajar spesifik lainnya semakin berat dengan minimnya dukungan dari pemerintah dan sekolah. Inklusi sering kali hanya menjadi kata indah dalam teori, tanpa ada implementasi yang memadai. Masih banyak guru yang tidak paham apa itu disleksia, apa itu diskalkulia, atau apa itu ADHD. Sistem pendidikan kita perlu memahami bahwa anak-anak seperti putriku bukan "malas" atau "kurang pintar," mereka hanya memiliki cara belajar yang berbeda.
Jika pemerintah dan institusi pendidikan lebih serius dalam mengedukasi guru tentang kebutuhan khusus, khususnya kesulitan belajar spesifik, aku yakin anak-anak seperti putriku akan lebih dihargai dan diterima di lingkungan sekolah. Pendidikan yang inklusif bukan sekadar menerima anak dengan kebutuhan khusus, tetapi juga menyediakan dukungan nyata bagi mereka agar bisa berkembang sesuai potensinya.
Dengan senyum ini, aku ingin dunia tahu bahwa kami di sini, dan kami butuh mereka untuk ikut berjuang. Setiap langkah kecil adalah kemenangan, setiap dukungan adalah harapan. Aku berharap suatu hari nanti, tidak ada lagi anak yang merasa sendirian dalam kesulitannya, tidak ada lagi ayah yang merasa "runtuh" dalam menghadapi tantangan ini. Kami akan berdiri tegak, bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H