ANBK, yang berbasis komputer, malah sering kali menjadi beban bagi anak-anak ini. Mereka tidak hanya harus memahami soal, tetapi juga berjuang melawan format digital yang kadang terasa asing dan menambah tekanan. Di sekolah-sekolah inklusi, di mana anak-anak dengan kebutuhan khusus berbaur, ANBK belum mampu memberikan fleksibilitas yang diperlukan.Â
Misalnya, anak disleksia sering kesulitan membaca cepat, sementara waktu yang disediakan sama untuk semua peserta. Layar komputer yang kadang sulit diakses oleh mereka yang memiliki tantangan visual atau motorik semakin mempertegas jurang antara ujian dan keadilan.
Banyak anak-anak yang akhirnya merasa terjebak dan gagal, bukan karena mereka tidak mampu memahami materi, tetapi karena sistem belum mampu mengakomodasi mereka. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru terasa seperti penjara; aturan-aturan kaku dan format standar yang tidak melihat individu di balik angka-angka nilai.
Apakah UN atau ANBK ini memerdekakan? Saya sendiri, dan banyak siswa disleksia lainnya, merasa bahwa kebijakan ini belum berpihak kepada kami. Saya melihat di lapangan, bagaimana guru dan pemangku pendidikan belum semua memahami cara memberikan penilaian yang adil dan bermakna bagi anak berkebutuhan khusus.
 Banyak yang masih berfokus pada angka dan standar yang seragam, seolah nilai adalah satu-satunya tolok ukur kecerdasan. Sementara, anak-anak disleksia atau dengan kebutuhan khusus lainnya, terus berjuang tanpa bimbingan yang tepat, seakan potensi mereka hanyalah cerita bisu yang tenggelam di balik lembar-lembar kertas ujian.
Lalu, bagaimana jika kita bisa merancang Ujian Nasional atau ANBK yang memerdekakan? Bukan sekedar menilai kemampuan, tetapi juga mengenali potensi. Sebuah ujian yang menghargai keunikan dan cara belajar yang berbeda, bukan sekadar angka di atas kertas. Sebuah sistem yang mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus, termasuk disleksia, memiliki cara berpikir yang unik dan penuh potensi yang tak bisa diukur dengan standar tunggal.
Bagi saya, Ujian Nasional atau ANBK yang memerdekakan adalah ujian yang memberikan ruang untuk tumbuh dan belajar dengan cara kami sendiri. Bukan hanya menjadi alat pengukur, tetapi juga menjadi pendorong bagi sistem pendidikan untuk benar-benar mendukung anak-anak dengan kebutuhan khusus.Â
Sudah saatnya kita melangkah ke arah pendidikan yang lebih inklusif, di mana ujian menjadi sarana untuk memahami dan menghargai, bukan mengekang.
Inilah impian saya bagi generasi berikutnya, sebuah sistem pendidikan yang benar-benar inklusif, yang mengerti bahwa setiap anak memiliki perjuangan yang berbeda dan bahwa kemerdekaan sejati dalam pendidikan adalah ketika setiap anak bisa belajar, berproses, dan berhasil dengan cara mereka sendiri.
Sebagai seorang disleksia dewasa, saya mengerti pentingnya evaluasi, tetapi lebih dari itu, saya ingin melihat sistem evaluasi yang benar-benar memahami bahwa anak-anak datang dengan berbagai cara belajar dan kelebihan.Â
Ujian yang memerdekakan seharusnya bukan hanya tentang soal benar-salah, melainkan tentang bagaimana memberikan kesempatan yang adil pada setiap anak untuk menunjukkan potensi mereka yang sebenarnya.