Kecemasan di Sekolah:
Mengatasi Tantangan, Membangun Percaya Diri
Tumbuh besar di Purwokerto, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tidaklah mudah. Lingkungan sekitar yang sederhana dan kehidupan yang tampak tenang di permukaan menyimpan tantangan tersendiri, terutama bagi seorang anak yang tengah berproses mencari jati diri.
Saya membutuhkan rasa percaya diri saat keluar dan bepergian dengan teman-teman, berjalan ke dan dari sekolah, serta berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Terkadang, tantangan yang muncul di jalanan atau di sekolah membuat saya harus melatih diri untuk tetap tegar. Untungnya, keberanian ini saya miliki dengan berlimpah. Namun, ada satu tempat yang seringkali menjadi sumber kecemasan terbesar saya: sekolah.
Sejak awal, saya menyadari bahwa saya berbeda dari teman-teman saya. Di satu sisi, saya adalah anak yang aktif secara fisik, berbakat dalam seni, pandai dalam hal angka, dan sangat menikmati segala hal yang praktis serta langsung dikerjakan. Di luar kelas, saya merasa kuat, penuh energi, dan percaya diri. Tetapi, ketika harus berhadapan dengan tugas yang melibatkan kata-kata, membaca, atau menulis, semua itu berubah. Dunia saya seakan runtuh.
Ketika diminta membaca di depan kelas, perasaan takut yang luar biasa muncul, seperti gelombang kecemasan yang tiba-tiba menyerang tanpa peringatan. Saat itu, tubuh saya akan dipenuhi kecemasan yang tak terkendali, seolah-olah saya berada di bawah tekanan yang tak tertahankan. Mungkin bagi sebagian orang membaca di depan teman-teman sekelas adalah hal yang biasa, namun bagi saya, itu adalah pengalaman yang penuh ketakutan dan kekhawatiran. Saya lebih memilih menghadapi bahaya besar daripada menghadapi rasa malu karena kesulitan membaca di depan umum.
Secara fonetik, saya sulit membentuk kata-kata. Setiap kali saya diminta untuk membaca, pikiran saya terasa buntu dan suara saya tersendat-sendat. Seolah-olah ada penghalang besar antara otak dan mulut saya, membuat saya merasa tidak mampu.
Ketika saya harus menyalin dari papan tulis, tulisan saya tampak rapi, tapi dalam hati saya sebenarnya tidak tahu apa yang sedang saya tulis. Saya menyalin huruf dan kata-kata, tapi mereka tidak memiliki makna bagi saya. Hal ini membuat para guru kebingungan. Mereka mulai menyadari ada dua gaya tulisan yang berbeda dalam buku saya -- satu gaya rapi ketika menyalin, dan satu lagi berantakan serta sulit terbaca ketika saya mencoba menulis sendiri.
Untuk menghindari rasa malu, saya sering melakukan berbagai cara. Terkadang, saya sengaja 'menghilangkan' buku catatan saya, baik secara sadar maupun tidak. Saya takut akan umpan balik yang mungkin saya terima. Saya khawatir bahwa kelemahan saya dalam membaca dan menulis akan terbongkar, dan saya akan dianggap berbeda atau tidak mampu seperti teman-teman saya yang lain. Perasaan rendah diri yang muncul akibat ini sering kali mengganggu kepercayaan diri saya secara keseluruhan.
Namun, meskipun rasa malu dan ketakutan itu begitu besar, saya tidak berhenti. Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan tantangan mereka sendiri. Dan, justru dari tantangan-tantangan inilah kita belajar menjadi lebih kuat. Mungkin saya tidak sebaik teman-teman saya dalam hal membaca atau menulis, tapi saya memiliki kemampuan luar biasa di bidang lain. Saya pandai dalam seni, saya ahli dalam matematika, dan saya selalu bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan praktis dengan cepat dan tepat.