Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sumpah Pemuda dalam Bayang Stigma, Hak dan Suara ABK yang Tak Kunjung Didengar

28 Oktober 2024   12:31 Diperbarui: 30 Oktober 2024   15:12 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Anak-anak berkebutuhan khusus. (Foto: KOMPAS/NIKSON SINAGA) 

Sebagai seseorang yang pernah melewati jalan sulit ini, yang juga pernah merasa tidak diterima, saya memahami betul bagaimana sulitnya melawan ketidakadilan yang tak kasat mata, ketidakadilan yang muncul dalam pandangan, kata-kata, dan sikap yang memandang remeh. 

Namun, dari perjalanan saya dengan Dyslexia Keliling Nusantara, saya juga belajar bahwa perubahan bukanlah hal yang mustahil. 

Semakin banyak orang tua, guru, dan masyarakat yang mulai menyadari bahwa setiap anak memiliki potensinya sendiri, dan tugas kita adalah membantu mereka menemukannya.

foto milik pribadi
foto milik pribadi

Masih terlalu sering ABK dilabeli sebagai "malas," "bodoh," atau "bermasalah" oleh masyarakat dan bahkan oleh sebagian guru yang kurang memahami kebutuhan khusus mereka. 

Stigma ini bukan hanya sekadar kata-kata; ia adalah tembok yang menutupi hak dan kesempatan anak-anak ini untuk berkembang. 

Tembok yang sama pernah saya hadapi dulu, saat di sekolah saya kerap dicap sebagai "troublemaker" karena sulitnya berkonsentrasi, dan "lambat" karena disleksia membuat kata-kata selalu tampak menari di depan mata saya.

Menurut penelitian dari American Academy of Pediatrics, 60-80% anak dengan disabilitas belajar menghadapi stigma, baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat luas (Rafferty, 2020). 

Stigma ini tidak hanya melukai harga diri mereka, tetapi juga sering membuat orang tua ragu untuk mencari bantuan profesional, memengaruhi peluang ABK untuk mendapatkan dukungan yang layak.

Di sekolah, realita yang dihadapi ABK sering kali adalah kurangnya dukungan dan pengetahuan dari para pengajar. Dari perjalanan Dyslexia Keliling Nusantara, saya menyaksikan bagaimana banyak guru belum dilengkapi dengan edukasi tentang disleksia, ADHD, atau kebutuhan khusus lainnya. 

Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, tanpa diskriminasi. Namun, kenyataannya, banyak ABK yang masih "disembunyikan" dari lingkungan kelas biasa, atau dipisahkan karena dianggap "mengganggu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun