Merdeka Belajar: Harapan atau Ilusi?
Merdeka Belajar, konsep yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjanjikan transformasi pendidikan yang lebih baik dengan menekankan kemandirian, kreativitas, dan penghargaan terhadap keunikan setiap peserta didik. Namun, ketika kita melihat kenyataan di lapangan, kita harus bertanya: Apakah semua ini lebih dari sekadar retorika? Bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, harapan tersebut sering kali terasa lebih sebagai ilusi daripada kenyataan.
Sebagai penyandang Disleksia-ADHD yang pernah menjalani masa sekolah tanpa pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan, saya merasakan betul betapa besar jurang antara konsep Merdeka Belajar dan realitas yang dihadapi. Meskipun Merdeka Belajar menawarkan prinsip-prinsip yang menjanjikan, implementasinya sering kali masih jauh dari memadai. Tanpa lingkungan yang ramah anak, dan tanpa pemahaman yang mendalam dari para guru tentang kebutuhan spesifik anak-anak berkebutuhan khusus, harapan untuk pendidikan yang lebih inklusif menjadi sulit untuk diwujudkan.
Tantangan Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus adalah kurangnya penanganan yang memadai di sekolah. Dalam pengalaman saya melalui proyek Disleksia Keliling Nusantara, saya menyaksikan banyak guru yang belum memahami cara menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Metode pengajaran yang sama diterapkan untuk semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual sering kali menyebabkan frustrasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Steinberg dan Tschannen-Moran (2017), untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, guru perlu dilatih dan diberdayakan untuk memahami karakteristik serta kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Sayangnya, di banyak sekolah, pelatihan semacam ini masih sangat minim. Sebagai hasilnya, anak-anak yang seharusnya mendapatkan dukungan lebih justru terjebak dalam sistem yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang.
Saat saya masih di bangku sekolah, saya merasa sangat kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Keterbatasan pemahaman dari guru mengenai disleksia dan ADHD membuat saya merasa terasing. Sering kali, saya dianggap sebagai “anak nakal” atau “biang masalah” hanya karena cara saya belajar yang berbeda. Tidak adanya dukungan yang tepat membuat saya berjuang sendirian, mencoba beradaptasi dengan sistem yang sama sekali tidak sesuai dengan cara berpikir saya.
Dalam proyek Disleksia Keliling Nusantara, saya menemukan bahwa banyak anak-anak lain juga mengalami hal yang sama. Mereka memiliki potensi yang luar biasa, tetapi terhambat oleh sistem yang tidak mendukung. Melalui berbagai pendekatan seperti pembelajaran berbasis proyek dan metode multisensori, saya berusaha memberikan mereka kesempatan untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan mereka. Namun, untuk mencapai perubahan yang lebih besar, kita memerlukan dukungan yang lebih dari para pendidik dan pembuat kebijakan.
Konsep Merdeka Belajar memiliki akar yang kuat dalam teori pendidikan yang menekankan pentingnya individualisasi dalam pembelajaran. Menurut Gardner (1983), setiap anak memiliki kecerdasan yang unik, dan pendekatan pendidikan harus dapat mengakomodasi perbedaan ini. Penelitian oleh McMahon dan Portelli (2005) juga menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang inklusif dapat meningkatkan motivasi dan pencapaian akademik anak berkebutuhan khusus.
Namun, untuk mencapai tujuan ini, perlu ada pelatihan yang lebih intensif bagi para guru mengenai pendidikan inklusif. Riset yang dilakukan oleh Florian dan Linklater (2010) menekankan bahwa dengan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan anak berkebutuhan khusus, guru dapat merancang strategi pengajaran yang lebih efektif dan responsif.