Disleksia dan Executive Function:
Mengatur Kekacauan dalam Pikiran
Kehidupan dengan disleksia sering kali seperti mencoba merangkai potongan puzzle yang tak pernah lengkap. Bukan hanya tentang kesulitan membaca atau menulis; ada sisi lain yang lebih tersembunyi, sisi yang sering kali tidak dipahami oleh banyak orang, bahkan oleh saya sendiri di masa kecil yaitu masalah dengan executive function. Bagi saya, ini lebih dari sekadar masalah akademik; ini adalah pergulatan harian dengan organisasi diri, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Ini adalah perjuangan dengan hal-hal kecil yang tak terlihat oleh orang lain, namun memiliki dampak yang luar biasa.
Ketika saya pertama kali mendengar istilah executive function, saya tidak langsung menyadari bahwa inilah yang telah menjadi sumber banyak tantangan saya selama ini. Fungsi eksekutif adalah serangkaian kemampuan mental yang membantu seseorang merencanakan, memprioritaskan, dan melaksanakan tugas. Bagi seseorang dengan disleksia, executive function sering kali terganggu terutama dalam mengatur waktu, menyusun prioritas, dan mengendalikan impuls. Ini adalah jenis tantangan yang tidak hanya terasa di sekolah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Saya ingat saat kecil, saya merasa seperti hidup di dalam kekacauan yang tidak teratur. Buku pelajaran saya selalu berantakan, tugas sekolah sering terlupa, dan saya terus-menerus kehilangan barang-barang penting. Guru-guru saya menuduh saya malas, tidak berusaha keras, atau tidak peduli. Di rumah, saya sering merasa malu karena tak mampu mengikuti pola hidup yang teratur seperti teman-teman saya. Kalender dan jam tidak pernah bersahabat dengan saya.
Ada satu pengalaman yang masih membekas dalam ingatan saya, yang menunjukkan betapa beratnya fungsi eksekutif yang kacau. Suatu hari, saya diberi tugas untuk membuat proyek kelompok di sekolah. Tugas ini cukup sederhana bagi sebagian orang: membuat laporan kelompok dengan batas waktu yang jelas. Tapi bagi saya, itu seperti meminta saya untuk merencanakan perjalanan ke bulan. Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tidak bisa membagi tugas dengan baik, dan yang terburuk, saya menunda-nunda hingga malam sebelum hari pengumpulan.
Saat itu saya ingat menangis sendirian di kamar, bingung dan frustasi. Rasanya seperti semua orang bisa menyelesaikan tugas-tugas ini dengan mudah, sedangkan saya selalu tertinggal.
Saya terus-menerus bertanya pada diri sendiri, "Kenapa saya tidak bisa menjadi seperti mereka?" Esoknya, saya menghadapi wajah-wajah kecewa dari teman-teman kelompok yang merasa saya gagal memimpin proyek kami. Guru saya bahkan berkata bahwa saya tidak bertanggung jawab. Itu adalah pukulan keras bagi harga diri saya.
Namun, di balik semua itu, ada titik balik yang mengajarkan saya bahwa meskipun executive function saya lemah, bukan berarti saya harus hidup dalam kekacauan selamanya. Saat saya semakin dewasa, saya mulai mengenal beberapa strategi sederhana yang membantu saya mengatasi tantangan ini. Salah satu pengalaman berharga datang dari ayah saya, yang selalu sabar mendampingi saya.
Ayah saya adalah orang yang sangat terorganisir, kebalikan dari diri saya yang kacau. Dia mengajarkan saya untuk membuat jadwal harian yang realistis, meski awalnya saya meremehkan cara ini. Dia membimbing saya untuk memecah tugas besar menjadi tugas-tugas kecil yang bisa saya lakukan satu per satu. Saya ingat salah satu nasihatnya yang selalu terngiang hingga sekarang, "Setiap langkah kecil adalah kemajuan, jangan mencoba melompat terlalu jauh."