Di Balik Jeruji : Pengalaman Kriminal, Penjara, dan Perjuangan dengan Disleksia - ADHD
Kenangan saya yang paling jelas tentang tahun-tahun sekolah adalah sebuah koleksi surat teguran dari sekolah yang seolah menjadi pengiring setia hari-hari saya. Selama periode tersebut, ayah saya sering diberi tahu bahwa saya adalah seorang anak yang sangat cerdas, ramah, dan penuh semangat, namun juga dikenal suka meninggalkan tempat duduknya, berbicara tidak pada gilirannya, melewatkan tugas, datang tanpa persiapan, dan bahkan mencuri. Di rumah, situasi menjadi lebih rumit; kemarahan dan kekecewaan sering kali meletup menjadi kekerasan fisik dari orang tua saya, seolah-olah mereka merasa bahwa hukuman fisik bisa menyembuhkan kekacauan yang ada di dalam diri saya. Ketika frustrasi dan stres saya mencapai puncaknya, saya sering kali memukul-mukul kepala saya ke tembok, sebuah tindakan yang mengakibatkan kehilangan penglihatan di mata sebelah kanan saya. Ada rasa sakit yang mendalam di setiap hentakan kepala yang saya lakukan, dan saya tak pernah benar-benar memahami apa yang mendorong saya untuk melakukannya.
Suatu hari, seorang psikolog yang menguji IQ saya memberi tahu ayah saya bahwa saya adalah seorang "jenius", tetapi dengan kemampuan yang besar juga datang dengan kemungkinan besar untuk berakhir di penjara karena kecenderungan saya untuk menentang norma. Prediksi itu ternyata benar. Pada usia 19 tahun, saya masuk penjara karena sebuah kecelakaan tragis---saat saya menabrak seorang pejalan kaki yang sedang menyebrang, yang mengakibatkan kematian orang tersebut. Kejahatan sering kali merupakan respons dari pelanggar dengan ADHD yang tidak terdiagnosis, dan saya adalah salah satu dari mereka. Untungnya, hakim memahami kondisi saya, dan saya hanya dijatuhi hukuman 30 hari dalam tahanan.
Selama saya berada di lembaga pemasyarakatan, struktur dan rutinitas yang ketat yang ada di dalamnya memaksa saya untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan memunculkan potensi yang sebelumnya tidak pernah saya sadari. Berinteraksi dengan tahanan lainnya dan mendengarkan cerita-cerita mereka tentang kejahatan dan kehidupan membuat saya menjadi pembelajar kejahatan yang ulung. Namun, saat saya bebas, stigma sebagai mantan narapidana membuat saya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Saya akhirnya bergabung dengan pencopet dan melakukan dua kali aksi pencurian di bus setelah keluar dari penjara. Tapi, di tengah-tengah keputusasaan, saya tiba-tiba tersadar akan impian saya---sebuah impian untuk berjuang kembali menjadi seseorang yang normal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penjara dan pusat penahanan sering dipenuhi dengan pelanggar muda yang memiliki ADHD yang tidak terdiagnosis. Mereka menonjol di antara populasi penjara karena kesulitan mereka dalam mematuhi aturan, rasa penyesalan yang mendalam, dan ketidakmampuan mereka untuk berpikir sebelum berbicara dengan polisi. Saya menjadi salah satu contoh nyata dari fenomena ini, dan pengalaman saya adalah sebuah perjalanan panjang dari penderitaan menuju penemuan diri.
Hubungan saya dengan ibu saya adalah salah satu aspek yang paling menyakitkan dalam hidup saya. Selalu ada perasaan bahwa saya tidak cukup baik, bahwa apa pun yang saya lakukan tidak pernah sesuai dengan harapannya. Kepercayaan ibu terhadap saya merosot seiring berjalannya waktu, dan saya merasa seolah-olah setiap kesalahan yang saya buat memperdalam jurang di antara kami. Ada hari-hari di mana tatapan kecewanya terasa lebih berat daripada apa pun di dunia ini. Saya merasa terjebak dalam siklus rasa bersalah dan kesedihan yang tampaknya tidak pernah berakhir. Saya sering menyalahkan diri sendiri atas kerusakan yang ada, berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, jika saya menjadi anak yang berbeda, hubungan kami tidak akan menjadi seperti ini.
Akhirnya, saya membuat keputusan untuk meninggalkan rumah. Saya pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas dan tanpa pamit, hanya dengan harapan bahwa jarak akan membawa jawaban yang saya cari. Saya pergi untuk belajar, menumbuhkan kepercayaan diri yang telah lama hilang, dan mencari harga diri yang selama ini terkubur di bawah bayang-bayang kesalahan dan kegagalan. Saya tahu jalan di depan tidak akan mudah. Namun, saya percaya bahwa di luar sana ada sesuatu yang lebih baik untuk saya, sebuah kehidupan di mana saya bisa menemukan siapa diri saya sebenarnya.
Dengan tekad dan usaha yang keras, saya melanjutkan kuliah meskipun awalnya sulit. Saya bekerja keras, berusaha lebih keras dari siapa pun yang saya kenal. Saya menangis dalam sunyi, tetapi saya terus melangkah, merajut mimpi-mimpi saya kembali satu per satu. Dan akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, saya lulus dengan pujian. Momen itu adalah puncak dari semua rasa sakit, pengorbanan, dan perjuangan yang saya lalui. Saya merasa seperti akhirnya saya bisa bernafas lega setelah sekian lama menahan nafas.
Ketika merayakan ulang tahun saya akhir tahun lalu, saya berdiri di hadapan teman-teman dan kolega saya, bersyukur atas pencapaian tersebut dan masa depan saya yang tampak lebih cerah. Saya memulai pekerjaan yang sesuai dengan passion saya, mengabdikan diri untuk membantu orang lain melalui "The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara". Proyek ini adalah cerminan dari perjalanan saya sebuah upaya untuk menjangkau mereka yang merasa terpinggirkan, untuk memberi harapan kepada mereka yang mungkin merasa hilang, sebagaimana saya dulu pernah merasa.
Ada saat-saat di mana saya merasa kesepian, merasa takut, dan merindukan ibu saya. Namun, perjalanan ini juga membawa kebahagiaan yang luar biasa. Melihat senyum anak-anak yang terbantu, melihat orang tua yang merasa didengar, membuat setiap langkah yang saya ambil terasa bermakna. Saya belajar bahwa meski kita tidak bisa mengubah masa lalu, kita selalu punya kekuatan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.