Kenyataan ini membuat saya bertanya-tanya, apakah kita benar-benar peduli pada mereka? Apakah kita hanya sibuk dengan target-target kurikulum yang dingin, tanpa pernah menengok ke dalam mata anak-anak yang putus asa karena huruf-huruf dan angka-angka yang tak pernah ramah pada mereka?
Saya ingin dunia ini berubah. Saya ingin para guru, orang tua, dan pembuat kebijakan tahu bahwa anak-anak ini punya potensi luar biasa. Mereka mungkin tidak bisa membaca dengan cara yang sama seperti kita, tapi itu tidak berarti mereka kurang pintar. Mereka membutuhkan sistem yang bisa mengerti bahwa 'berbeda' bukan berarti 'gagal.' Mereka membutuhkan kita---semua orang dewasa di sekitar mereka untuk lebih peka, lebih berempati, dan lebih terbuka dalam memahami kebutuhan mereka.
Setiap kali saya melihat wajah anak itu, saya merasa seperti melihat diri saya sendiri anak kecil yang hanya ingin dimengerti, bukan dihakimi. Di luar sana, masih ada ribuan anak yang menunggu untuk dimengerti. Mereka butuh kita untuk berdiri bersama mereka, membantu mereka melihat bahwa mereka tidak sendiri.
Karena pada akhirnya, mereka tidak memerlukan kita untuk menyelamatkan mereka; mereka hanya butuh kita untuk mengulurkan tangan, menunjukkan jalan yang benar, dan berkata, "Kamu bisa. Dan kami ada di sini untuk membantumu."
Krisis literasi dan numerasi di sekolah bukan sekadar tentang kemampuan akademik yang rendah, melainkan refleksi menyakitkan dari kegagalan kita sebagai pendidik dan masyarakat dalam memahami bahwa setiap anak adalah unik dalam cara belajarnya. Di setiap ruang kelas, tersembunyi di balik bangku dan buku, ada anak-anak yang berjuang keras menghadapi huruf dan angka setiap hari. Mereka bukan malas atau kurang usaha, tetapi terjebak dalam sistem yang tidak dirancang untuk memahami dan merangkul perbedaan mereka. Kita sering terlalu sibuk mengejar angka-angka dalam ujian, lupa bahwa di balik nilai-nilai itu ada anak-anak yang merasa terabaikan dan tidak dihargai.
Anak-anak ini, yang mungkin duduk di sudut kelas dengan tatapan kosong, bukanlah anak yang tidak peduli. Mereka merasakan beban yang luar biasa. Setiap huruf yang tampak menari di depan mata, setiap angka yang terasa tidak masuk akal, adalah pengingat harian bahwa sistem pendidikan kita gagal memahami kebutuhan mereka. Mereka tidak membutuhkan simpati, tetapi pemahaman. Mereka tidak membutuhkan penilaian berdasarkan standar yang kaku, tetapi dukungan untuk berkembang sesuai kemampuan mereka.
ANBK, yang seharusnya menjadi cerminan kemampuan siswa, kini menjadi penanda krisis yang lebih dalam. Bukan hanya krisis dalam hasil ujian, tetapi krisis dalam cara kita memandang pendidikan. Mengapa kita membiarkan sistem ini hanya menilai anak dari seberapa baik mereka bisa mengisi lembar jawaban? Padahal, pendidikan seharusnya jauh lebih luas dari itu. Pendidikan adalah tentang memahami dan menghargai perjalanan belajar setiap individu, bukan sekadar menghitung keberhasilan berdasarkan standar yang sama untuk semua.
Sudah saatnya kita berhenti menilai anak-anak kita hanya dari angka-angka di atas kertas dan mulai membangun sistem pendidikan yang inklusif. Sistem yang tidak hanya berfokus pada hasil ujian, tetapi juga pada proses pembelajaran yang menghargai perbedaan dan memberikan ruang bagi setiap anak untuk bersinar dengan cara mereka sendiri. Mari kita ciptakan sekolah yang bukan hanya tempat untuk belajar matematika dan bahasa, tetapi juga tempat di mana setiap anak merasa dihargai, didengarkan, dan diberi kesempatan untuk tumbuh sesuai potensi mereka.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya, "Mengapa hasil ANBK rendah?" dan mulai bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung anak-anak ini, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus?" Sebab, di balik setiap angka yang rendah, ada seorang anak yang menunggu untuk didengar, dipahami, dan diberikan kesempatan yang adil untuk sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H