Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Imam Setiawan adalah seorang pria visioner yang memiliki banyak mimpi besar dan tekad yang tak tergoyahkan. Semangat pantang menyerah yang ia miliki menjadi bahan bakar utama dalam setiap langkah hidupnya. Saat ini, Imam sedang menjalani fase penting dalam hidupnya, berusaha menjadi pribadi yang lebih kuat dengan mengalahkan batasan-batasan dirinya sendiri. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magister dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 2023, Imam membawa semangat belajarnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di balik pencapaiannya, Imam menghadapi tantangan unik, yaitu hidup dengan disleksia dan ADHD. Namun, daripada melihatnya sebagai hambatan, Imam justru melihatnya sebagai warna yang memperkaya perjalanan hidupnya. Sebagai pendiri Rumah Pipit dan Komunitas Guru Seneng Sinau, Imam tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga menyebarkan inspirasi kepada para guru dan orang tua di seluruh penjuru Indonesia. Melalui proyek ambisius bertajuk “The Passion Project Disleksia Keliling Nusantara,” Imam berkomitmen untuk menjelajahi daerah-daerah pedalaman Indonesia, bertemu dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Dalam perjalanan ini, ia berbagi ilmu dan pengalaman, dengan harapan memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan serta memperkuat komunitas di daerah-daerah terpencil. Perjalanan ini tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi, tetapi juga sebagai bentuk dedikasi Imam untuk membuka pintu bagi anak-anak yang ia yakini sebagai "pembuka kunci surga," mengilhami generasi muda untuk bermimpi dan berani menghadapi tantangan, tak peduli seberat apa pun itu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Disleksia, ANBK, dan Krisis Literasi: Menyingkap Realita di Balik Angka dan Huruf

19 Oktober 2024   19:50 Diperbarui: 20 Oktober 2024   18:43 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenyataan ini membuat saya bertanya-tanya, apakah kita benar-benar peduli pada mereka? Apakah kita hanya sibuk dengan target-target kurikulum yang dingin, tanpa pernah menengok ke dalam mata anak-anak yang putus asa karena huruf-huruf dan angka-angka yang tak pernah ramah pada mereka?

Saya ingin dunia ini berubah. Saya ingin para guru, orang tua, dan pembuat kebijakan tahu bahwa anak-anak ini punya potensi luar biasa. Mereka mungkin tidak bisa membaca dengan cara yang sama seperti kita, tapi itu tidak berarti mereka kurang pintar. Mereka membutuhkan sistem yang bisa mengerti bahwa 'berbeda' bukan berarti 'gagal.' Mereka membutuhkan kita---semua orang dewasa di sekitar mereka untuk lebih peka, lebih berempati, dan lebih terbuka dalam memahami kebutuhan mereka.

Setiap kali saya melihat wajah anak itu, saya merasa seperti melihat diri saya sendiri anak kecil yang hanya ingin dimengerti, bukan dihakimi. Di luar sana, masih ada ribuan anak yang menunggu untuk dimengerti. Mereka butuh kita untuk berdiri bersama mereka, membantu mereka melihat bahwa mereka tidak sendiri.

Karena pada akhirnya, mereka tidak memerlukan kita untuk menyelamatkan mereka; mereka hanya butuh kita untuk mengulurkan tangan, menunjukkan jalan yang benar, dan berkata, "Kamu bisa. Dan kami ada di sini untuk membantumu."

Krisis literasi dan numerasi di sekolah bukan sekadar tentang kemampuan akademik yang rendah, melainkan refleksi menyakitkan dari kegagalan kita sebagai pendidik dan masyarakat dalam memahami bahwa setiap anak adalah unik dalam cara belajarnya. Di setiap ruang kelas, tersembunyi di balik bangku dan buku, ada anak-anak yang berjuang keras menghadapi huruf dan angka setiap hari. Mereka bukan malas atau kurang usaha, tetapi terjebak dalam sistem yang tidak dirancang untuk memahami dan merangkul perbedaan mereka. Kita sering terlalu sibuk mengejar angka-angka dalam ujian, lupa bahwa di balik nilai-nilai itu ada anak-anak yang merasa terabaikan dan tidak dihargai.

Anak-anak ini, yang mungkin duduk di sudut kelas dengan tatapan kosong, bukanlah anak yang tidak peduli. Mereka merasakan beban yang luar biasa. Setiap huruf yang tampak menari di depan mata, setiap angka yang terasa tidak masuk akal, adalah pengingat harian bahwa sistem pendidikan kita gagal memahami kebutuhan mereka. Mereka tidak membutuhkan simpati, tetapi pemahaman. Mereka tidak membutuhkan penilaian berdasarkan standar yang kaku, tetapi dukungan untuk berkembang sesuai kemampuan mereka.

ANBK, yang seharusnya menjadi cerminan kemampuan siswa, kini menjadi penanda krisis yang lebih dalam. Bukan hanya krisis dalam hasil ujian, tetapi krisis dalam cara kita memandang pendidikan. Mengapa kita membiarkan sistem ini hanya menilai anak dari seberapa baik mereka bisa mengisi lembar jawaban? Padahal, pendidikan seharusnya jauh lebih luas dari itu. Pendidikan adalah tentang memahami dan menghargai perjalanan belajar setiap individu, bukan sekadar menghitung keberhasilan berdasarkan standar yang sama untuk semua.

Sudah saatnya kita berhenti menilai anak-anak kita hanya dari angka-angka di atas kertas dan mulai membangun sistem pendidikan yang inklusif. Sistem yang tidak hanya berfokus pada hasil ujian, tetapi juga pada proses pembelajaran yang menghargai perbedaan dan memberikan ruang bagi setiap anak untuk bersinar dengan cara mereka sendiri. Mari kita ciptakan sekolah yang bukan hanya tempat untuk belajar matematika dan bahasa, tetapi juga tempat di mana setiap anak merasa dihargai, didengarkan, dan diberi kesempatan untuk tumbuh sesuai potensi mereka.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya, "Mengapa hasil ANBK rendah?" dan mulai bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung anak-anak ini, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus?" Sebab, di balik setiap angka yang rendah, ada seorang anak yang menunggu untuk didengar, dipahami, dan diberikan kesempatan yang adil untuk sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun