"Disleksia, ANBK, dan Krisis Literasi: Menyingkap Realita di Balik Angka dan Huruf"
Saat ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) mulai diterapkan di sekolah-sekolah, gemuruh ketakutan dan kecemasan menggema di hati para siswa. Bukan hanya karena tes ini menjadi ukuran kinerja akademik mereka, tetapi juga karena untuk sebagian dari mereka, huruf dan angka di layar seolah-olah menjadi musuh yang tak terlihat. Di balik statistik ANBK yang menunjukkan rendahnya literasi dan numerasi, ada fenomena yang jauh lebih kompleks: banyak dari anak-anak ini memiliki kebutuhan khusus yang tidak terdeteksi, seperti disleksia atau gangguan lain dalam belajar. Mereka tenggelam dalam arus besar ujian yang tidak mengerti betapa sulitnya menghadapi huruf dan angka yang "menari-nari" di layar.
Saya masih ingat saat pertama kali menghadapi ujian seperti ANBK di sekolah. Huruf-huruf pada kertas ujian seolah-olah memiliki kehidupan sendiri bergerak, berpindah tempat, dan membuat saya merasa kecil dan tak berdaya. Saya tahu jawabannya di kepala, tetapi entah bagaimana, saya tidak bisa menerjemahkan pemikiran itu menjadi tulisan yang dapat dimengerti. Saat itulah disleksia saya terasa seperti hambatan yang tak tertembus. Guru-guru melihat saya sebagai anak yang malas atau tidak fokus. Tapi kenyataannya, saya berjuang dengan semua kekuatan yang saya punya, meskipun itu tidak pernah cukup di mata mereka.
Ketika saya mendengar cerita dari anak-anak berkebutuhan khusus yang sekarang menghadapi hal serupa dengan ANBK, saya merasa pilu. Banyak dari mereka mengalami kesulitan membaca dan menulis, atau bahkan memahami angka persis seperti yang pernah saya alami. Namun, ironisnya, mereka tidak hanya harus berjuang melawan tantangan pribadi mereka, tetapi juga menghadapi sistem pendidikan yang sering kali gagal melihat kebutuhan mereka. Anak-anak ini, yang sudah menghadapi rintangan besar dalam keseharian mereka, dituntut untuk bersaing dalam sistem yang seolah menuntut keseragaman, tanpa ruang untuk memahami keberagaman dalam cara berpikir dan belajar.
Di kelas, banyak guru mengeluhkan rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa saat ANBK. Namun, jarang yang benar-benar bertanya: "Mengapa?" Mengapa banyak anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, seolah-olah tertinggal dalam dua hal yang sangat mendasar: membaca dan berhitung? Jawabannya tidak sesederhana kurangnya latihan atau ketidakmampuan. Sebagian dari mereka bergulat dengan disleksia, diskalkulia, ADHD, atau kebutuhan khusus lainnya yang membuat setiap huruf dan angka seperti gunung yang sulit didaki.
Tapi sayangnya, realitas ini sering kali terabaikan. Alih-alih mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, anak-anak ini malah terseret dalam penilaian yang tidak memperhitungkan kemampuan mereka secara individu. Ujian yang sama, standar yang sama, tetapi kenyataannya tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Di balik angka-angka ANBK yang rendah, ada wajah-wajah yang berjuang anak-anak yang membutuhkan dukungan, bukan sekadar penilaian.
Saya masih teringat jelas seorang anak yang saya temui dalam perjalanan program "Dyslexia Keliling Nusantara." Wajahnya bersinar penuh rasa ingin tahu, begitu cerdas dan penuh energi. Namun, setiap kali ujian tiba, sinar di matanya meredup. Dia berubah menjadi sosok yang murung, seolah beban yang tak terlihat menghimpitnya. Suatu hari, ketika saya duduk bersamanya, dia memberanikan diri untuk berbicara, meskipun suaranya bergetar pelan, "Aku ingin bisa baca, Pak. Tapi aku nggak ngerti kenapa huruf-hurufnya nggak mau diem."
Kata-katanya menusuk hati saya. Kalimat sederhana itu membangkitkan kembali bayangan diri saya bertahun-tahun lalu berjuang menghadapi dunia yang dipenuhi huruf-huruf yang menari, menghilang, dan tak pernah diam. Saya tahu persis perasaan yang dialaminya: frustrasi, kebingungan, dan perasaan gagal yang tak terucapkan. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kesulitannya membaca, melainkan kenyataan bahwa anak ini, seperti ribuan anak lainnya di seluruh Indonesia, terjebak dalam sistem yang belum siap memahami dan mendukung mereka.
Sistem pendidikan kita sering kali hanya melihat anak-anak melalui angka-angka di atas kertas. Mereka yang kesulitan membaca atau berhitung dianggap lamban, malas, atau kurang usaha. Tetapi, siapa yang mau mendengar cerita di balik angka-angka itu? Siapa yang mau memahami bahwa anak-anak seperti dia bukan tak mau belajar, melainkan tak pernah diberi cara yang tepat untuk memahami dunia dengan cara mereka sendiri?
Anak itu bukan satu-satunya. Di seluruh pelosok negeri ini, ada ribuan anak lain yang duduk di kelas-kelas dengan rasa takut yang sama. Mereka berjuang setiap hari untuk sekadar bisa mengeja atau menulis, namun yang mereka terima sering kali hanyalah tatapan sinis, label 'bodoh,' atau nilai merah yang terus-menerus mencatat kegagalan mereka.